Rabu, 21 Desember 2011

LAZARUS DI NEGERI MAFIA

Penulis: Ambros Leonangung Edu


Lebih dari setahun kasus Gayus Tambunan yang merugikan uang negara miliran rupiah belum juga tutup buku. Ini baru sepotong cerita dari mafia kejahatan di tubuh para elit.
Mafia kejahatan ini telah menjadi sindrom yang menggurita. Ia merupakan kumpulan orang posesif-narsistik, yang ingin berdandan ria dengan kekayaan umum dan menganggap milik pribadi jabatan publik.
Mafia ini merupakan jaringan kejahatan yang sulit dibongkar. Untuk membongkarnya dibutuhkan cara kerja para penegak hukum yang profesional dan bebas kepentingan. Sekarang ini institusi penegakan hukum kita tersandera mafia.
Kalau diteropong dari kacamata sosiologi Erving Goffman, realitas politik dan hukum kita layaknya sebuah drama. Dalam drama terdapat bagian di atas panggung (front stage) dan bagian belakang panggung (back stage). Front stage adalah dunia yang tampak atau kelihatan di hadapan penonton. Para aktor memainkan drama di atas panggung dengan alur dan setting cerita yang sudah direkayasa dari back stage. Back stage adalah tempat terjadinya rekayasa cerita. Back stage dikendalikan sutradara. Back stage tidak boleh kelihatan. Ia harus dimistifikasi, dikeramatkan, sebab di sana sutradara dan para aktor merangkai cerita. Sejauh back stage tidak diketahui penonton, penonton menganggap drama di atas panggung sebagai kenyataan sebenarnya. Tetapi ketika back stage mulai terbongkar, penonton menanggap para aktor hanya bersandiwara.
Rakyat di negeri ini sering menjadi penonton sandiwara politik yang dilakoni para aktor, yakni para elit. Apalagi ketika banyak pejabat terlibat korupsi dan diseret ke rumah tahanan, rakyat melihat ternyata ada skenario, mafia, dan rekayasa besar dalam praksis politik kita yang disutradarai para mafia. Rakyat pun tidak percaya terhaap para elit kita karena tidak mampu mengatasi persoalan kemiskinan yang mendera tanpa akhir. Para elit kita malah sibuk memanfaatkan jabatan untuk tujuan pribadi dengan merekayasa laporan keuangan (window dressing), memutar-balikkan fakta, ngemplang pajak, dan memalsukan data. Namun, mereka sering mencari-cari alasan stagnasi demokrasi berbangsa dengan argumen-argumen plastis, seperti gaji pejabat yang rendah.
Mafia kejahatan seperti ini menciptakan kesenjangan dalam dunia yang sama antara para elit kaya dan rakyat jelata miskin. Ketika dunia terbagi ke dalam kelompok orang kaya dan kelompok orang miskin, suatu kenyataan yang menyedihkan orang-orang kaya dan orang-orang miskin semakin sedikit memiliki kesempatan untuk saling bertemu. Jurang di antara mereka menganga lebar. Lantas, apa yang harus dibuat untuk mengatasi kemiskinan?

Kisah Lazarus
Pesimisme terhadap para pemimpin memang beralasan karena kesejahteraan rakyat tidak kunjung membaik. Rendahnya komitmen dan tanggung jawab politik para pemimpin membuat rakyat harus berjuang sendiri untuk kehidupannya. Rakyat kita ibarat Lazarus dalam cerita Kitab Suci yang hidup dalam ketidakpastian antara hidup dan mati. “Ada seorang kaya yang selalu memakai jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya” (Luk 16:19-21).
Kalau cerita tersebut dikembangkan, Lazarus kemudian mati dan bangkit dalam persatuan yang mulia dengan Abraham, Bapa Orang Beriman. Orang kaya juga mati, tetapi ia masuk dan mengalami kesengsaraan abadi dalam api neraka. Apakah karena kekayaannya orang itu menerima nasib buruk? Ia memang kaya, tetapi menjadi kaya bukanlah dosa. Yesus mengangkat cerita itu berkaitan dengan perlakuan orang kaya itu terhadap Lazarus.
Namun, perumpamaan tersebut tidak menyebutkan suatu hubungan aktual, tidak menceritakan apa sesungguhnya yang dilakukan di antara kedua orang itu. Tidak ada indikasi orang kaya itu menindas Lazarus, atau mengutus para hambanya untuk menganiaya Lazarus. Bahkan tidak dikatakan Lazarus masuk ke rumahnya dan tidak dijamunya. Cerita itu hanya mengatakan orang miskin itu “terbaring di depan pintu gerbang”. Kita dapat menyimpulkan, orang kaya itu tidak pernah mempersilakan dia masuk atau bersedia menerimanya, tidak pernah peduli dengan siapa yang terbaring di luar pintu rumahnya. Tampaknya, orang kaya itu tidak pernah berinteraksi dengan Lazarus, dan itulah sebabnya orang kaya itu tidak bertemu dan berada bersama Allah.
Cerita orang kaya dan Lazarus yang miskin bukanlah kisah nyata soal membantu orang miskin. Cerita itu bukan mengenai cara mengubah situasi orang miskin yang terbaring di depan pintu rumah kita, tetapi sesungguhnya berisikan suatu pertobatan yang membuka mata agar peka terhadap penderitaan orang lain di luar pintu-pintu kenyamanan diri kita, tembok-tembok yang kita ciptakan untuk menjauhkan kita dari orang lain.
Di negeri ini, orang-orang miskin berada di mana-mana akibat perlakuan tidak adil dari para penguasa. Maka tindakan membantu dan memberi kepada mereka tidaklah cukup. Lebih dari itu, kita harus mengangkat derajat kehidupan mereka menjadi layak dengan melakukan karya-karya keadilan. Jika kemiskinan dianggap sebagai kesalahan pribadi, begitu juga penanganannya. Namun, jika kemiskinan diyakini sebagai akibat dari kekerasan yang lebih besar ketimbang pilihan individual – jika hal itu merupakan dampak utama dari ketidakadilan sistematis – pendekatan yang dibutuhkan berbeda. Orang-orang miskin adalah para korban ketidakadilan struktural dari kejahatan para pemangku kekuasaan, dan karena itu dibutuhkan upaya perlawanan struktural.

Butuh Perlawanan
Tingkat kepercayaan rakyat terhadap para pejabat publik kita rendah. Rakyat melihat sikap tidak konsisten, minim etika dan komitmen politis mereka dalam mengatasi persoalan kemiskinan. Rakyat justru menyaksikan episode pertarungan merebut kekuasaan dan mafia korupsi di tubuh para pejabat.
Pendekatan terbaik adalah gerakan rakyat secara terus-menerus. Inisiatif para tokoh lintas agama baru-baru ini dalam mengoreksi kinerja pemerintah karena telah melakukan kebohongan publik patut diacungi jempol. Hal seperti itu harus terus dilakukan agar para pejabat kita tidak terlena dengan kekuasaannya sebagai kesempatan untuk mencari untung dan mencuri uang rakyat.
Hidup beriman yang benar adalah memahami premis-premis agama dan melakukan interpretasi atas konteks sosial untuk karya keadilan semua orang. Hidup beragama yang hanya sibuk dengan devosi akan bermuara pada kebangkrutan spiritual. Kita juga tidak cukup beriman dengan hanya melakukan karya-karya kasih, seperti memberi makan orang lapar, mengunjungi orang sakit, memberi bantuan kepada orang miskin, tetapi lebih jauh melawan kejahatan sistematis, terutama korupsi, yang menjadi akar kesenjangan sosial.
Kita harus keluar dari batas-batas kenyamanan diri dengan membuka hati dan pikiran untuk peduli dan membela hak-hak orang miskin dan melawan budaya kekerasan.

MENGAPA LULUSAN PENDIDIKAN DI INDONESIA KURANG KREATIF?

Penulis: Ambros Leonangung Edu


Ada berbagai alasan yang muncul. Pertama, pendidikan kita melayani kepentingan politik. Ini tampak jelas pada masa Orde Baru. Ciri pendidikan pada masa ini adalah indoktrinatif. Praksis pendidikan pun tak jarang cenderung militeristik dan diktatoris. Orang tidak bebas berpikir kritis dan memilih. Orang harus mengikuti keinginan penguasa. Karena menggunakan sistem komando, dampak selanjutnya adalah penyeragaman dalam segala hal, bukan keberagaman. Stabilitas politik dan keamanan menjadi prioritas dengan alasan, jika keamanan stabil, pendidikan pun maju.
Sementara itu, dalam bidang ekonomi, terjadi pembangunan ekonomi. Pendapatan per kapita naik. Struktur ekonomi tidak berakar pada rakyat, tetapi pada pasar kapitalis. Lalu, dalam bidang hukum, indoktrinasi membuat pemimpin dan rakyat berada dalam relasi top-down. Kontrol dari bawah lemah karena kuatnya monopoli penguasa.
Dari semua itu, impak terhadap kehidupan publik adalah terbentuknya kelas menengah yang lamban, tak kreatif, tak responsif atas persoalan aktual bangsa, tidak kreatif dan produktif. Orang tunduk pada birokrasi yang kaku. Korupsi meningkat sehingga lahir ekonomi biaya tinggi dan tidak dikelola secara profesional. Inisiatif  lemah dan selalu minta petunjuk. Dalam bidang pendidikan, sistem pendidikan tidak diarahkan kepada peningkatan daya saing. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas dari masyarakat. Masyarakat tidak dilibatkan dalam mengontrol pengelolaan pendidikan. Akuntabilitas pendidikan ditentukan oleh penguasa, bukan konsumen. Pendidikan semakin terlempar dari kebudayaan dan telah menjadi hasil kerja birokrasi. Kualitas pendidikan kurang mendapat perhatian. Semua ini merupakan persoalan lama yang telah membentuk manusia Indonesia yang tidak kritis, kreatif, dan inovatif. 
Setelah reformasi bergulir, ada berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Beberapa contoh namun memiliki cacat.
Pertama, sertifikasi guru. Sertifikasi merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalisme guru. Sedangkan profesionalisme guru adalah tuntutan mutlak dalam mencapai kualitas pendidikan. Untuk mendapatkan sertifikasi, guru harus memiliki empat kompetensi dasar: kompetensi pedagogik-intelektual, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Upaya pemerintah ini sudah terlaksana dan terbukti banyak guru yang mendaftarkan diri untk mendapat sertifikasi. Sayangnya, jumlah guru yang ini ikut dattar itu tidak memenuhi kuota dan tingkat kompetensi guru nasional masih sangat minim. Ini sekaligus evaluasi bahwa profesionalisme guru kita jauh dari harapan dan pemerintah seta guru terus meningkatkan kinerjanya. Menurut data Ditjen PMPPTK Depdiknas (September 2009), sejak tahun 2006-2009, sebanyak 575.046 guru di seluruh RI ini yang menyerahkan dokumen-dokumen sertifikasi dari 600.450 kuota yang disediakan pemerintah. Yang lulus dan mendapat SK Tunjangan Profesi sebanyak 347.300 guru. Itu berarti, guru yang kompeten seluruh negeri ini hanya 13,32% (dikonversi dengan total guru seluruh Indonesia dari TK-SMU/SMK: (2.607.311 guru). Dengan demikian, untuk mencapai kondisi guru 100% kompeten, bila tidak ada perubahan kebijakan pemerintah yang menuju percepatan, diperlukan waktu sekitar (100:13,32%) x 3 tahun = 22,5 tahun.
Selain itu, pada tingkat lapangan, telah terjadi praktik manipulasi sertifikasi. Kompas, Rabu, 24 November 2010 (hlm. 7) menjelaskan secara gamblang persoalan ini. Dikatakan, di Riau – satu dari berbagai daerah di Indonesia yang mengalami kasus serupa – terjadi kasus plagiasi sertifikasi oleh 1.700 guru.
Munculnya kasus plagiasi patut dievaluasi. Pengadaan serfikasi untuk menunjang profesionalisme guru ternyata tidak mutlak tercapai. Permasalahan utamanya adalah pada metodologi yang diperkuat budaya kita yang koruptif. Instrumen penilaian serfifikasi mengandalkan persepsi penilai. Kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesionalisme yang dipercayakan kepada sekolah dan pengawas sulit dipercaya dan ada potensi direkayasa. Lalu instrumen penilaian kompetensi profesional dan pedagogis yang mengandalkan penilaian persepsional terhadap RPP dan sertifikat tanda mengikuti diklat dan aneka macam kegiatan juga tidak menjamin objektivitas penilaian. Sertifikasi mengandung cacat. Pertama, diabaikan unsur analisis dan refleksi kinerja guru. Kedua, yang dinilai adalah hal-hal yang bersifat instrumental-input, bukan berdasarkan analisis-reflektif atas kinerja guru.
Dengan demikian, sertifikasi guru kita tidak ditempatkan dalam upaya pengembangan profesionalisme guru, tetapi de facto dalam alat pemenuhan tuntutan yuridis formal yang penuh intrik politik.
Kedua, desentralisasi pendidikan. Desentralisasi sudah dilaksanakan. Pemerintah, melalui UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah. Standar kompetensi masih menjadi kewenangan pemerintah pusat dengan alasan, sebagaimana tercantum dalam UU tersebut, untuk menjaga kesatuan bangsa. Yang dilakukan daerah adalah pengembangan isinya sesuai konteks lokal. Daerah lebih kepada “muatan lokal” yang berkaitan dengan kebijakan, kebutuhan, dan kearifan lokal. Maka memang ada banyak pelajaran “muatan lokal” untuk menjawabi tuntutan lokal. Dalam kaitan dengan kinerja dan tenaga kerja daerah, setiap lulusan harus menjawabi permasalahan dan kebutuhan di daerahnya.
Ketiga, KTSP. KTSP dikembangkan di sekolah-sekolah sekarang ini. Kurikulum ini menitikberatkan pada siswa. Siswa menjadi pelaku (student-centered), bukan lagi guru (teacher-centered) sebagaimana dalam praktik pendidikan dulu. Kesempatan lebih banyak diberikan kepada siswa. Guru hanya menjadi fasilitator, pembimbing, pengarah, atau pelancar dalam proses pembelajaran. Bagi sekolah-sekolah yang kompeten dan konsisten, KTSP berhasil menumbuhkan potensi siswa dan mengaktualisasikan bakat-bakatnya. Namun, ada banyak guru yang tidak kompeten (bdk. Data guru tidak kompeten jawaban pertama di atas). Dalam kenyataan, kebanyakan guru tidak siap dengan baik sehingga tidak dapat menjadi fasilitator yang efektif. Fasilitator yang efektif membutuhkan latihan dan wawasan yang luas, dan kebanyakan guru kita kurang memilikinya. Akibatnya, karena kebanyakan kesempatan diberi kepada siswa tanpa arahan yang jelas, terarah, dan terukur, maka proses pembelajaran di sekolah terkesan “main-main”. Pembelajaran menjadi dangkal dan suasana di kelas riuh-ramai. Untuk sementara, KTSP ini masih dipakai di sekolah-sekolah, meskipun sudah ada wacana pergantian kurikulum oleh Menteri Pendidikan.
Lantas, selain usaha pemerintah, apa usaha guru-guru untuk meningkatkan mutu pendidikan, dalam rangka mewujudkan tiga program prioritas pemerintah tahun 2000-2004? Pertama, pendidikan lanjutan. Untuk guru-guru tamat diploma, mereka mengikuti pendidikan sarjana, dan ada guru yang sudah sarjana mengikuti pendidikan magister dan bahkan doktoral. Ini untuk meningkatkan wawasan guru. Kedua, selain yang pertama di atas, usaha guru di lapangan adalah melakukan MGMP (Membuat Musyawarah Guru Mata Pelajaran) sebagai diskusi perbandingan antarguru yang memperkaya wawasan dengan menggunakan teknologi informasi sebagai pusat ilmu baru dan dunia baru, membuat kajian-kajian ilmiah seperti seminar-seminar yang bermutu tentang pendidikan, dan mengetahui kebutuhan dasar arah pembentukan siswa melalui telaah sosiologis dan kultural, serta mengambil tema-tema khusus untuk meningkatkan citra sekolah  misalnya dalam scientis, artis, drama, musik, dan sebagainya.

INDONESIA: SUDAH MENCAPAI MASYARAKAT MADANI?

Penulis: Ambros Leonangung Edu


Masyarakat madani menjadi prasyarat majunya sebuah negara. Kemajuan itu tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi seluruh dimensi kehidupan. Adapun ciri-ciri masyarakat madani adalah masyarakatnya cerdas, kritis, kreatif, dan inovatif; kesadaran politik mereka tinggi; sistem politiknya demokratis; hak asasi manusia dihargai; ekonomi bersifat kompetitif-rasional non-kapitalis yang bertumpu pada sektor domestik; rakyatnya toleran terhadap perbedaan; kehidupan sosialnya beradab dan bermartabat; supremasi hukum ditegakkan; tatanan sosial dan kebebasan individu seimbang; kehidupan antargenerasi sinambung; birokrasinya empatik, bersih, bermoral, dan pro-rakyat; sistem pendidikannya pun demokratis.
Lantas, bagaimana dengan negara kita? Apakah negara kita sudah mencapai masyarakat madani? Menurut saya, negara kita BELUM menunjukkan perkembangan ke arah itu. Hal ini dapat dilihat kita lihat dalam bidang pendidikan, hukum, politik, ekonomi, dan kehidupan sosial.
Pendidikan
Pendidikan kita seharusnya menjadi aset besar memasuki era globalisasi ini. Sayangnya, kualitas pendidikan kita sangat memprihatinkan. Daya saing sangat rendah. The World Economic Forum Swedia (2003) membuat survei tentang daya negara-negara di dunia. Ia melaporkan, dari 57 negara di dunia yang disurveinya, Indonesia menduduki posisi ke-37. Rendahnya kualitas dan daya saing ini juga terlihat pada data Balitbang tahun yang sama (2003). Dikatakan, dari 146.052 SD di Indonesia, ternyata hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (YPY). Dari 20.918 SMP, hanya ada delapan sekolah yang diakui dunia sebagai The Middle Years Program (MYP), dan dari 8.036 SMU di Indonesia hanya tujuh sekolah yang masuk kategori The Diploma Program (DP).
Ada pun beberapa masalah utama. Pertama, sistem pendidikannya yang masih trial and error. Sistem pendidikan kita belum terarah. Masih dalam tahap uji coba yang berkepanjangan. Kenyataannya, lulusan sekolah kita minim pengetahuan dan keterampilan. Jumlah murid yang masuk sekolah umum dan sekolah kejuruan tidak seimbang. Jumlah murid SD, SMP, SMU, dan perguruan tinggi sama sekali tidak seimbang. Banyak anak yang hanya berhenti di pendidikan dasar. Sementara masalah-masalah aktual terus terjadi dan membutuhkan manusia yang memiliki wawasan dan sumber daya untuk memecahkannya. UU no 2 thn 1989 dapat dijadikan acuan bagi pembangunan nasional. Sayangnya, survivalitas manusia Indonesia masih lemah. Dalam undang-undang ini pun, masalah-masalah pendidikan tidak dibicarakan secara eksplisit, kecuali menyebut faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika pendidikan, seperti tujuan pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, kurikulum, hasil belajar dan hari libur, penilaian, pengelolaan, dan pengawasan. Diharapkan UU no 20 tahun 2003 dapat menjadi jawaban atas masalah kualitas pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, sistem pendidikan kita berada dalam uji coba, trial and error, tanpa pegangan dan arah. Contoh, untuk meningkatkan mutu, pemerintah menyusun kurikulum KBK tahun 2004, tapi saat bersamaan kurikulum yang berlaku masih kurikulum 1994. Ketidakarahan juga tampak dalam Ujian Nasional. Undang-undang Sisdiknas baru menetapkan UN tidak dilaksanakan. Tetapi, hingga sekarang ujian ini masih dilaksanakan tanpa alasan yang jelas. Tahun 2006, DPR Komisi X bidang Pendidikan mengatakan UN tidak dilaksanakan karena tidak adanya dana. Entah kenapa, UN - bahkan hingga kini – tetap dilaksanakan dan sumber dana diambil dari pos-pos lain sebesar Rp 260 miliar lebih.
Kedua, minimnya profesionalisme guru. Ini dapat dilihat salah satunya dari kualifikasi akademik. Data Ditjen PMPTK Depdiknas RI tahun 2009 menunjukkan, guru yang mengajar TK-SMU/SMK lulusan SMU berjumlah 535.601 orang, lulusan D1 49.763 orang, lulusan D2 790.327 orang, lulusan D3 121.327 orang, lulusan S1 1.092.913 orang, S2 17.619 orang, dan S3 59 orang. Dari 2.607.311 total guru tersebut, 1.043.000 (40%) tamat D-IV/S1 dan memiliki kualifikasi akademik, sedangkan sekitar 1.564.311 guru (60%) tidak memiliki kualifikasi.
Masih ada masalah-masalah lain terkait kualitas pendidikan, seperti kurangnya kesejahteraan guru, fasilitas,  pemerataan kesempatan pendidikan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan, mahalnya biasa pendidikan, dan alokasi APBN yang rendah (pemerintah merencanakan 20% APBN untuk pendidikan, tetapi realisasinya sering di bawah 10%, tidak pernah 20%).
 Jika kualitas pendidikan rendah, daya saing minim, maka kreativitas, inovasi, dan kemampuan berpikir kritis pun lemah, maka sumber daya manusia sebagai prasyarat masyarakat madani menjadi mandek.

Hukum
            Supremasi hukum di negara kita belum ditegakkan. Alasannya, faktor politik lebih dominan. Terjadi politisasi atas proses peradilan yang mestinya berjalan objektif. Angkat saja dua contoh: kasus Century yang menelan uang negara Rp 6,7 triliun, atau kasus Gayus, mafia pajak seorang pejabat kecil di direktorat perpajakan sekitar Rp 25 miliar tetapi berkomplot dengan para elit di negeri ini. Kasus Century hingga sekarang belum selesai, kendatipun Pansus telah dibentuk untuk menanganinya. Kasus Gayus hingga kini belum sampai pada keputusan finalnya. Lemahnya kontrol publik dan tingginya korupsi di tingkat para elit negara, membuat hukum dipermainkan. Gayus, kendati sudah ditahan, masih saja berkeliaran bahkan hingga ke luar negeri, dengan menyogok petinggi rutan yang mengawasinya dan pejabat imigran.
Politik
Indonesia telah terlepas dari belenggu otoritarianisme Orde Baru. Tumbangnya orde ini memandai babak baru sejarah, yakni Orde Reformasi. Akan tetapi, reformasi secara substansial belum tampak. Yang muncul masih tahap superfisial. Contoh yang paling  jelas adalah pemilu dan pembentukan KPK. Setelah memasuki era Reformasi pemilu dilakukan secara langsung. Seharusnya partisipasi rakyat lebih banyak karena masyarakat menyatakan langsung hak politiknya. Yang terjadi, partisipasi justru menurun. Berbagai manipulasi di tingkat elit negara ini membuat rakyat enggan terlibat dalam pemilu.
Tampak demokrasi kita masih sistem yang prosedural. Belum substansial. Pasca-pemilu, pemimpin terpilih tidak lagi peduli dengan kepentingan umum. Banyak pemimpin korupsi. Mereka sibuk menghabiskan uang miliran rupiah ke luar negeri untuk melakukan studi banding, sementara negeri sendiri masih ditimpa masalah kemiskinan dan bencana alam. KPK sendiri, bentukan orde Reformasi itu, tengah dililiti perang antarlembaga. Kita ingat perang dengan kepolisian. Banyak kasus korupsi di tingkat para elit yang dihambat-hambat. Ini semua mengindikasikan mandeknya demokrasi di negara kita.
Ekonomi
            Ekonomi kita dikuasai oleh para pebisnis dan elit yang pro kapitalisme (fundamentalisme pasar). Ada dua tren utama dalam ekonomi kapitalis yang dapat kita lihat perkembangannya di negara kita. Pertama, tata kelola perusahaan yang semakin mengarah ke kepemilikan saham di pasar modal. Kedua, orientasi korporasi semakin mengarah kepada orientasi finansial dan profit. Perbankan kehilangan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Likuiditas bertumpuk di pasar saham dan takut berinvestasi ke sektor riil. Selain itu, apa yang disebut kebutuhan sudah bergeser. Jika dalam ekonomi tradisional, saya membutuhkan pakaian karena saya tidak bisa membuatnya sendiri, saya harus membelinya kepada seorang pedagang di grosir Tanah Abang. Pakaian itu adalah hasil produksi dari pabrik garmen. Pabrik itu mendapat benang dan kapas dari sebuah daerah di Papua yang digarap para petani kapas. Namun, dengan berkembangnya pasar saham, perdagangan future, petani tidak bisa lagi bisa mengontrol harga di pasar karena yang mengontrol harga adalah kroni kapitalisme. Para pebisnis kita enggan menyentuh sektor rill. Mereka nimbrung di pasar saham. Konsekuensinya, merger lintas sektor pun tidak terbendung lagi dan terjadi konsentrasi kepemilikan pada konglomerat bermodal kuat. Konglomerat bermodal kuat ini kerap disebut kroni kapitalis. Kroni-kroni kapitalis inilah yang menuntut pasar dibebaskan dari regulasi pemerintah. Mereka jugalah yang menuntut institusi keuangan, seperti IMF dan Bank Dunia mendesakkan liberalisasi pasar ke negara berkembang. Liberalisasi pasar bertujuan meningkatkan investasi dan mengatasi pengangguran. Alih-alih ingin mengatasi pengangguran, kebijakan IMF malah memperparah masalah pengangguran dan kemiskinan.
Kehidupan sosial
            Umumnya, kebebasan sudah terlihat. Pembelengguan dan kekerasan ala Orde Baru tampak hilang, kecuali birokrasi kita yang lamban dan kurang responsif terhadap persoalan bangsa. Akan tetapi, kebebasan yang kita rasakan terlalu “kebablasan”. Kebebasan individu tinggi, sedangkan tatanan sosial melemah. Orang tidak lagi saling menghargai. Diskusi para elit berakhir dengan saling mencemooh. Demonstran yang menyampaikan suara berakhir dengan kekerasan. Kelompok-kelompok fundamentalis/puritan muncul dan menindas kelompok minoritas. Rumah-rumah ibadat agama minoritas dibakar, misalnya kasus pembakaran gereja HKBP beberapa bulan lalu. Anarkisme dan premanisme bermunculan, misalnya dalam kasus kekerasan di Jalan Ampera Jakarta. Di sini, perilaku para petinggi negara ini membuat penghargaan terhadap otoritas dan tananan sosial mengalami kehilangan.

MEMBANGUN GENERASI PASCATRAUMA (Mengenang Hari Sumpah Pemuda)

Penulis: Ambros Leonangung Edu


Ernest Renan mengatakan, nasion terbentuk bukan karena kesamaan suku, agama, ras, atau konfigurasi geografis, melainkan karena resultante dari komplikasi pengalaman bersama di masa silam.
Masa silam bangsa kita penuh goresan hitam akibat dibelenggu kolonialisme dan imperialisme. Kolonialisme dan imperialisme telah mengakibatkan luka-luka trauma sejarah yang teramat dalam. Pengalaman terluka itulah yang menjadi titik tolak bagi para pejuang kita untuk merancang-bangun sebuah proyek bersama: satu Indonesia.

Totaliterisme yang berkepanjangan

Proyek bersama itu dirancang salah satunya pada momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dikumandangkan oleh kaum muda yang peduli dan cinta terhadap tanah air Indonesia. Mereka berasal dari Jong Java, Jong Andalas, Jong Borneo, dan sebagainya. Tujuan mereka adalah menyatakan kesatuan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Roh kesatuan ini tentu menjiwai kemerdekaan tahun 1945.
Seharusnya trauma sejarah akibat kolonialisme dan imperialisme sudah terobati melalui autoterapi. Proyek para pendahulu harus direvitalisasi, kaum muda diberdayakan, politik dibenahi. Intinya, bangsa kita harus melakukan reformasi internal sehingga luka-luka itu sembuh. Harus ada pemulihan dari dalam diri. Tentu dengan berguru pada sejarah masa lalu dan memaafkan tanpa melupakan setiap bentuk kekerasan.
Akan tetapi, tampaknya kita bukanlah bangsa yang mau berguru pada sejarah. Kita tidak mau mengambil hikmah dari setiap kejadian historis. Kita tidak mau berdamai dengan kesalahan dan kepahitan masa lalu dan menyiapkan diri untuk membuka lembaran sejarah baru. Kita cenderung mengabaikan memori masa lalu seperti sampah busuk yang harus dibuang dan dilupakan. Hal ini membuat kita lupa pada perjuangan, kenangan, impian, tekad, dan pengorbanan para pejuang kita. Kita melupakan amanat mereka.
Karena tidak mencintai sejarah, kita tampak tidak siap dan tidak mampu menatap masa depan dengan wajah baru. Kita cenderung berputar-putar pada pola-pola lama yang totaliteristik. Alhasil, kontinuitas perjuangan dan semangat para pemuda 28 untuk memperjuangkan “satu Indonesia” putus di tengah jalan. Roda perpolitikan nasional terseok-seok. Totalitarianisme yang telah kita tolak itu justru kita kembali dan terpancar dalam urat nadi para pemimpin kita. Soekarno pemimpin diktator, lalu digulingkan Soeharto. Soeharto naik takhta selama tiga puluh dua tahun kemudian, tapi diturunkan para mahasiswa pada tahun 1998, lagi-lagi karena totaliteristik.
Periode Reformasi menutup rezim totaliteristik kiranya membawa angin segar dan telah berjalan dua belas tahun hingga sekarang. Apakah tekad “satu Indonesia” pada Sumpah Pemuda dihidupkan kembali? Apakah nasionalisme kita bertumbuh pascakolonialisme?
Setiap kejadian historis pasti akan tersimpan dalam memori kolektif. Dari sudut pandang psiko-sosial, memori kolektif selalu mengandung muatan emosi. Emosi itu terisi trauma-trauma masa lalu dan menyembul dalam wajah penuh dendam dan benci dari generasi yang satu ke generasi yang berikutnya, dari rakyat terhadap pemimpin, dan dari rakyat biasa kepada para elite.
Saat-saat terakhir kita sering menyaksikan munculnya gerakan separatisme dan sektarianisme RMS yang ingin menangkap Presiden SBY. Juga ada gerakan fundamentalisme yang menampak dalam aksi teror bertopeng agama, pelarangan beribadat bagi agama tertentu, konflik berdarah di Jalan Ampera Jakarta, dan masih banyak lagi yang masih hangat dalam telinga kita. Ini semua bagian dari trauma kolektif yang belum tersembuhkan. Dan penyakit itu belum menunjukkan tanda-tanda perubahan yang signifikan. Masih banyak koruptor yang bebas dari jeratan hukum, politik menjadi ruang komodifikasi dan performativitas diri, kaum muda terjebak dalam kepentingan-kepentingan parsial, ruang-ruang demokrasi kita yang tidak terdefinisi secara baik oleh para elit dibajak dan diisinya dengan mafia-mafia korupsi.
Kekerasan demi kekerasan melahirkan anak-anak bangsa yang dendam dan benci. Benci bukanlah karakter bawaan tapi hasil bentukan lingkungan historis-sosiologis. Maka membaca kekerasan yang sering melanda kehidupan bangsa dapat dibaca dari akumulasi rasa pahit yang terus terjadi. Luasnya kekerasan mengakibatkan lemahnya ketahanan rakyat untuk hidup di lembah derita.

Harus segera diobati
Hal yang diperlukan sekarang adalah membangun bangsa Indonesia pascatrauma sejarah. Bangsa Indonesia yang bebas represi, kebencian, dan balas dendam. Gerakan separatisme, sektarianisme, dan fundamentalisme akan mengikis integritas dan nasionalisme jika tidak dilakukan perubahan wajah kebangsaan kita. Gerakan-gerakan ini tidak efektif dilawan dengan memperbanyak dan memperkuat pasukan keamanan, sebab yang dilawan adalah ideologi, bukan fisik. Hal yang diperlukan adalah merias wajah Indonesia yang bangga terhadap bangsanya. Reformasi institusi publik harus berjalan, konflik KPK dengan kepolisian harus dituntaskan, para koruptor harus dihukum dengan adil, kebebasan dan keadilan harus ditegakkan.
Kiranya Sumpah Pemuda menjadi titik berangkat untuk terus menjalan suatu proyek bersama: satu Indonesia.

KONFLIK KPK – POLRI DAN KEDEWASAAN POLITIK


Oleh: Ambros Leonangung Edu
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero – NTT


Penahanan pimpinan KPK (non-aktif) Chandra - Bibit menimbulkan konflik yang kian meruncing antara KPK dan lembaga kepolisian. Kepolisian menahan keduanya karena ada dugaan penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi, secara legal formal, dasar penahanan itu tidak kuat karena hanya mengandalkan pasal karet. Kemudian, kedua pimpinan KPK ini menerima penangguhan penahanan. Kasusnya kini sedang bergulir dengan kerja Tim 8, yang entah akan bermuara pada apa. Publik masih menunggu.
Inilah fakta di mana terjadi konflik antar lembaga negara. Pertarungan Buaya versus Cicak, sebutan lain dari konflik ini. Patut dicatat bahwa belum pernah ada konflik antarlembaga sebesar ini sebelumnya. Kalau pun ada, riak-riaknya tidak kedengaran sebagaimana yang terjadi hari-hari ini antara KPK-Kepolisian (Kejaksaan). Selama ini para pejabat negara kita lebih ingin roda politik berjalan “mulus”, dan menghindari sedemikian rupa upaya-upaya yang menimbulkan konflik. “Tertib politik”, itulah yang selalu diusahakan. Suharto dan kroni-kroninya membangun basis militer yang kuat untuk memuluskan kekuasaannya dan mengeliminasi secara paksa kelompok-kelompok yang berlawanan. Rakyat, dalam lingkaran kekuasaan semacam ini menjadi kaum miskin, lapar, dan tertekan. Rakyat berada di periferi kekuasaan yang tak diperhitungkan sama sekali. Tidak bisa dibayangkan, kekuatan massa sebagaimana dukungan terhadap KPK hari-hari ini terjadi pada era pemerintahan Suharto, pada era sebelum kejatuhannya Mei 1998 itu. Secara statistik rakyat adalah mayoritas tetapi secara sosiologis, rakyat itu minoritas, terpinggirkan dan termarginalkan.
Namun era reformasi, seperti membuka ruang di mana era kebebasan itu ada.  Ada ruang di mana kebebasan berpendapat itu diberikan. KPK, sebagai lembaga bentukan ‘era roformasi’ itu lahir dalam era ini, yang diperuntukkan untuk memberantas korupsi. Hadirnya KPK, di tengah budaya ‘tertib politik’ tentu menjadi ancaman terhadap kekuasaan yang selama ini korup. Ia merangsek ke tubuh-tubuh kekuasaan untuk membongkar semua praktek korupsi. Ia seperti mengoyak kekuasaan dengan usaha dan niat luhur memberantas korupsi yang memang sudah lama menggurita di republik ini. Ia bahkan dicap sebagai ‘lembaga super body’, lantaran wewenangnya yang besar ini. Betapa pun awalnya KPK disinyalir masih melakukan penanganan korupsi secara tebang pilih, namun toh kemudian ia berani unjuk gigi, yang membuat pihak-pihak tertentu ketar-ketir. Pihak-pihak inilah yang kemudian, dengan segala daya upaya, semisal pintu hukum, berusaha menghadangi gelombang kekuasaan KPK yang teramat besar ini. Anak kandung reformasi ini pun dibuat ‘lemah’ dan bila perlu dimatikan saja. Sayang seribu sayang, rakyat melihat indikasi ini dan berteriak lantang untuk berdiri di belakang KPK. Cintai Indonesia, Cintai KPK (CICAK) adalah gerakan masyarakat mendukung eksistensi KPK yang sedang digerayangi oleh tangan-tangan kotor kekuasaan. Konflik pun menjadi sebuah jalan yang harus dilalui untuk sampai pada perubahan.

Mengapa Konflik?
Menurut Max Weber, konflik adalah motor penggerak perubahan. Dalam suasana di mana terjadi diisintegrasi bangsa karena dominasi kekuasaan yang begitu kuat dan cacat penegakan hukumnya, konflik adalah suatu pilihan.
Di Indonesia, akar dari segala permasalahan yang menimpa negara adalah kekuasaan di tangan para elit yang begitu kuat. Kekuasaan dan kedaulatan selalu berada dalam relasi asimetrikal. Ketika kekuasaan di tangan elit begitu kuat, maka kedaulatan rakyat menjadi lemah. Sebaliknya, ketika kedaulatan rakyat menguat, maka kekuasaan melemah. KPK, dalam hal ini sebagai representasi suara-suara reformasi (suara-suara rakyat) kemudian harus berkonflik dengan ‘kekuasaan’ yang diwakili oleh lembaga kepolisian dalam hal ini.
Apakah ini semata-mata bentuk perlawanan emosional dari rakyat yang bodoh, tidak punya otak, dan hanya punya otot saja? Rasa-rasanya tidak. Konflik yang terjadi adalah suatu pilihan sangat rasional. Rasionalitas atas dasar keadilan, rasionalitas atas dasar ‘kebenaran.’ Konflik bukan reaksi infantil yang merusak, tetapi ia adalah bagian dari proses menuju kedewasaan yang lahir dari keputusan yang sangat ‘rasional.’ Kedewasaan yang dimaksud dalam kisruh KPK – Polri adalah kedewasaan politik. Kedewasaan politik itulah perubahan sosial. Dengan demikian, patut disadari bahwa konflik yang terjadi antara KPK – Polri saat ini, perlu juga dibaca dalam kacamata ini. 
Bagaimana konflik memungkinkan perubahan? Bukankah konflik dapat membuat pihak-pihak yang berkonflik menimbulkan sikap antipati dalam dirinya? Sosiolog Lewis Coser berpendapat bahwa selain berdampak negatif, konflik dapat memberi dampak positif yang bisa jauh lebih besar.
Pertama, konflik mereformasi keterpecahan internal lembaga. Konflik dapat membangun solidaritas internal dalam kepolisian, ataupun sebaliknya KPK, ketika pihak lain mengklaim lembaganya keliru. Konflik eksternal dapat menjadi basis untuk membangun solidaritas internal, dan lebih lagi membangun reformasi internal. Ia dapat meretas kompetisi-kompetisi internal yang tidak sehat.
Kedua, konflik menyebabkan kelompok-kelompok lain aktif. Khususnya kelompok-kelompok yang selama ini terisolir, dengan konflik, mereka terlibat aktif dalam membangun wacana dan menyampaikan pendapat. Hal ini tampak, misalnya, dalam dukungan terhadap KPK melalui pendudukan terhadap kepolisian di sejumlah wilayah, atau dukungan lewat facebook dan media lannya.
Ketiga, menstimulasi integrasi antarkelompok. Kalau dilihat, kelompok-kelompok ikut dan terlibat dalam upaya pencarian solusi konflik KPK dan kepolisian menjadi dua. Kelompok pertama pendukung KPK dan kelompok kedua pendukung kepolisian. Kelompok pendukung KPK terdiri dari kelompok intelektual yang menyerukan keadilan dan kebebasan. Mereka berasal dari kaum intelektual, LSM, mahasiswa. Kelompok pro kepolisian lebih banyak pejabat, termasuk ada kesan beberapa DPR, yang berangkat dari ketakutan hancurnya lembaga penegakan hukum. Konflik seperti ini menimbulkan solidaritas antarkelompok.
Keempat, mendorong perubahan sosial. Kalau konflik menjadi momen reformasi keterpecahan internal lembaga-lembaga yang bertikai, momen partisipasi kelompok-kelompok yang selama ini terisolir, momen menstimulasi integrasi antarkelompok, maka konflik menjadi momen untuk perubahan sosial.
Di negeri Indonesia yang pluralis ini, tidaklah bijaksana kalau ada upaya untuk mendiamkan konflik. Ada kesan sejumlah pejabat publik lebih menekankan harmoni ketimbang konflik. Alasannya karena takut KPK dan kepolisian akan mengalami disharmoni. Hal ini sah-sah saja, tetapi “melemahkan” kasus hanya supaya kedua lembaga itu harmoni adalah keliru. Kita membiarkan kebusukan dalam lembaga publik terjadi karena takut pudarnya kredibilitas para pemimpin, karena takut kehilangan simpatik rakyat, dan karena ingin menciptakan harmoni.             
Konflik memang lebih rendah dari harmoni atau hidup damai, namun ia lebih buruk daripada harmoni semu atau tertib politik yang dipaksakan. Apalah gunanya membangun harmoni di bawah sikap kompromistis? Konflik KPK – Polri diakui atau tidak diakui akan membangun kedewasaan politik bangsa ini ke depan. Ia adalah bagian dari proses pendewasaan demokrasi itu sendiri.*** (Tulisan saat konflik KPK-Kepolisian)

AMROZI dkk JUGA MANUSIA (MEMPERTANYAKAN HUKUMAN MATI)


Penulis: Ambros Leonangung Edu


Keputusan eksekusi terhadap Amrozi cs karena kasus Bali I rencananya dilaksanakan pada awal November 2008 ini. Entahlah kapan kepastiannya, kita masih menunggu. Yang jelas, eksekusi sempat ditunda beberapa kali.
Andaikan eksekusi tidak dapat dihindari, kontroversi tentangnya tidak akan pernah berakhir. Duduk perkaranya adalah legitimasi hukum yang adil. Kontroversi semacam ini bukanlah pertama kali terjadi di Indonesia. Kita ingat terakhir begitu hangat pada waktu eksekusi Tibo cs tahun 2006 lalu.  
Kalau dibuat kategori, kira-kira kontroversi itu terbagi dalam dua kelompok yang berseberangan. Ada kelompok yang mendukung eksekusi dan ada kelompok yang menolak eksekusi. Kelompok yang mendukung eksekusi menggunakan pendasaran argumentasi retributif dan deterrence. Mereka beranggapan bahwa Amrozi cs telah melakukan terorisme, sebuah kejahatan sistematis dan meluas yang berdampak pada penghilangan sekian nyawa manusia tak berdosa serta trauma fisik dan psikologis. Karenanya eksekusi mati merupakan cara efektif yang bersifat retributif, menebus, atau membayar atas kejahatannya, sekaligus jera (deterrence) yang melaluinya orang menarik pelajaran bahwa terorisme itu jahat. Di sini hukuman mati mengandung dua tujuan sekaligus yakni bersifat retributif karena setimpal dengan perbuatannya yang sudah terjadi di masa lalu, dan deterrence sebagai shock therapy supaya kejahatan yang sama tidak akan terulang kembali bagi orang lain di masa yang akan datang.
Kelompok kedua melihat eksekusi sebagai sebuah kejahatan. Mereka berargumen, hukum positif yang mengizinkan menghukum mati seseorang karena kejahatannya, bertentangan dengan substansi hukum itu sendiri yang mestinya melindungi kemanusiaan. Namun, perjuangan kelompok ini sering terkandas di hadapan otoritas penguasa yang defensif terhadap tema-tema keadilan, cinta kasih, atau kemanusiaan. Tidak hanya itu pendasaran moralitas sering ditafsir di dalam lingkaran relativisme, bahwa kebaikan atau kejahatan itu relatif, sehingga perjuangan kelompok ini dianggap tidak berdasar.
Saya melihat bahwa pro-kontra masalah eksekusi akan terus berlanjut sejauh ia masih berlaku. Pada suatu sisi, para penegak hukum sering tidak mempunyai komitmen dan konsistensi untuk membuktikan bahwa hukuman mati bisa dipertanggungjawabkan menurut asas keadilan. Kita lihat pada kasus Tibo di mana banyak kalangan masih meragukan keputusan eksekusi ketika ditemukan bukti-bukti baru (novum) yang lebih kuat untuk memberi arah yang jelas atas peristiwa yang dituduhkan secara hukum sebagai terorisme.
Di lain pihak, hukum tentang eksekusi belum sungguh-sungguh menjawabi pluralitas pemahaman dan keyakinan. Ada berbagai pertanyaan yang meminta pertanggungjawaban hukum mengenai keharusan membunuh si pelaku yang telah melakukan kejahatan. Namun para penguasa kita sering mencari jalan pendek. Keadilan substantif dicampuradukkan dengan keadilan prosedural. Padahal hukum adalah konsensus bersama dari dialektika budaya, agama, adat istiadat, dsb. Entitas budaya, agama, adat-istiadat dalam dirinya sendiri berjalan dinamis dalam konteks. Maka hukum pun perlu membuka ruang bagi komunikasi yang kontekstual dan mengikuti semangat zaman (zeitgeist). Eksekusi atau hukuman mati terbilang tidak relevan untuk diterapkan di dalam iklim demokrasi yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Eksekusi hanya cocok di era kolonialisme karena dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi para penguasa dan ekspansi kekuasaannya.
Jika hukuman ini diberlakukan di Indonesia saat ini, sebuah paranoia tengah merasuki para pemimpin kita. Mereka tak ingin anak-anak bangsanya nakal dan bermain api. Cita-cita SBY benar bahwa keamanan adalah kunci kelancaran pembangunan bangsa. Akan tetapi membunuh warga yang bersalah karena telah menegasikan keamanan, prioritas itu tidaklah sungguh-sungguh bernilai.
Sebagai manusia normal, kita tidak (akan) pernah menyetujui aksi teror yang dilakukan Amrozi cs. Kita pun tidak menyetujui mereka mengalasi perjuangan mereka dengan paham-paham keagamaan. Itu semua bahasa politis eufemistis supaya kita menerima bahwa perbuatan mereka benar. Terorisme tetap jahat secara objektif. Hanya yang jadi soal, ketika mereka dihukum dan dibunuh, apakah ada relevansi pengurangan kuantitas para “penjahat” dengan kualitas hukum kita? Dan apakah dengan membunuh, akar kejahatan akan terputus?
Benar bahwa pelaku harus diadili. Etika sosial mengajarkan, “bonum faciendum et malum evitandum” (lakukanlah yang baik dan hindari yang jahat!). Kejahatan harus dihindari. Peng-adil-an dibuat untuk memberi pertanggungjawaban tindakan di dalam kerangka keadilan. Pengadilan tidak mesti membunuh “si penjahat” demi keadilan. Ketika kejahatan yang dibuat harus dibayar dengan nyawa, hukuman tersebut kontradiktoris. Kontradiksi karena memikirkan keadilan dan kemanusiaan apriori tapi menegasikan kemanusiaan dalam diri seorang manusia konkret.
Artinya di sini ada kekacauan logika berpikir. Kejahatan dengan kemanusiaan direduksi satu sama lain. Masalah kejahatan adalah masalah perilaku, masalah aktualisasi diri. Perilaku yang jahat bisa jadi merupakan aktualisasi atau ungkapan kemanusiaannya yang jahat. Tetapi perilaku yang jahat tidak berarti seluruh kemanusiaannya jahat. Kemanusiaan jauh lebih eksistensial daripada sesuatu yang merupakan hasil perbuatannya.
Logika para pemimpin negeri ini simplistik. Mereka menghilangkan kemanusiaan seseorang, membunuhnya, menghilangkan sumbernya, yakni nyawa manusia, demi membayar kemanusiaan itu sendiri pada orang-orang yang sudah menjadi korban pelaku, dengan alasan retributif dan deterrence.
Bonum faciendum, malum evitandum mensyaratkan bahwa kejahatan itu memang ada. Bahkan di mana-mana. Potensi kejahatan ada secara imanen dalam diri manusia entah itu masyarakat biasa, bupati, gubernur, DPR, dan presiden. Manusia adalah makluk imanen, yang terbatas dalam dirinya sendiri, sehingga kemungkinan berbuat jahat pun ada. Namun manusia juga adalah makluk transendens; ia memiliki jiwa, hati, pikiran, untuk merasa, merenung, dan menilai. Terorisme adalah tindakan melawan kesadaran, jiwa, hati, dan pikiran. Betapapun seseorang telah melakukan kejahatan paling besar, ia masih mempunyai kemanusiaan dan kesadarannya. Hukum, seperti halnya agama atau budaya (yang baik), mau tidak mau harus berusaha sekian rupa menjaga sesuatu yang namanya manusia. Retribusi dan deterrence senantiasa dibangun dalam kerangka membentuk citarasa hidup bersama, betapapun itu sulit. Karena itu, dari perspektif ini hukuman mati yang menghilangkan kemanusiaan seseorang secara keseluruhan sebenarnya merupakan intoleransi, kesesatan berpikir, dan paranoia penguasa.
Tak ada gunanya membunuh terus-menerus manusia, toh tidak akan menghilangkan kejahatan. Kejahatan itu ada di mana-mana. Banyak pemimpin kita pun jahat, hanya dengan cara lain. Korupsi trliunan rupiah, misalnya, sama bahayanya dengan terorisme. Para koruptor pelan-pelan tapi pasti membunuh rakyat kebanyakan, mematikan potensi untuk berakses dalam negeri ini, sehingga generasi berikutnya merasakan kemiskinan yang jauh lebih parah.
Maka, saatnya eksekusi ditolak. Sampai sekarang hukuman mati di mana-mana belum membuktikan terciptanya masyarakat bebas kejahatan.
Amrozi pun manusia! Koruptor pun manusia! Semua kita manusia! (Tulisan menjelang eksekusi Amrozi, dkk)