OLEH: AMBROS LEONANGUNG EDU
Dapatkah perempuan setara dengan lelaki? Sepertinya tidak.
Perempuan adalah sahabat setan. Perusak. Pembawa sial bagi lelaki. Rayuan
mautnya telah menghancurkan struktur keturunan manusia secara permanen dengan makan
buah terlarang. Dosa turunan, dialah ulahnya. “Kamu (perempuan) adalah gerbang
setan. Kamu adalah pembuka segel pohon terlarang itu. Kamu adalah pengkhianat
pertama hukum ilahi. Kamu adalah ia yang membujuknya (Adam) yang terlalu kuat
untuk diserang iblis. Kamu begitu ceroboh menghancurkan laki-laki, citra Tuhan.
Akibat ketidakpatuhanmu, bahkan putra Tuhan pun harus mati”, demikian kata Tertulianus
(Dirks, 2004: 263).
Sejak berabad-abad perempuan dianggap rendah dan tumbal
dari berbagai petaka di bumi. Perempuan adalah makhluk kelas rendah. Makhluk
yang menurut Thomas Aquinas tidak seharusnya ada di dunia. Laki-laki, kata
Aquinas, sudah cukup memiliki segala-galanya untuk hidup (principium activum in generatione). Laki-laki tidak sepantasnya membutuhkan
perempuan, kecuali karena satu kelengkapan yang tidak dimilikinya yaitu tempat
mekanisasi keberlangsungan keturunan. Kekurangan itu diisi perempuan, sehingga perempuan
menjadi ada namun dibutuhkan sebatas teman atau penolong penciptaan baru (pro-creation) yang tidak wajib ada. Laki-laki
sudah memiliki dalam dirinya segala yang dibutuhkan untuk kehidupan baru.
Setiap tujuan benih kehidupan pada laki-laki adalah seorang laki-laki baru
sebagai makhluk yang secara sempurna menunjukkan siapa itu manusia. Perempuan
ada karena kekurangan pada laki-laki sebagai causa efficiens pembentukan manusia. Karena kekurangan itu sesuatu
yang tidak semestinya, maka pembentukan perempuan adalah sesuatu yang tidak
semestinya terjadi (Kleden, 2002: 77).
Kekerasan selalu muncul dari cara berpikir. Cara berpikir
Tertulianus pada abad ke-2 merefleksikan seksisme yang kasar dan prasangka
paling buruk tentang perempuan. Atau pikiran Aquinas lahir dari kesesatan metodologi
yang reduksionistis karena bertitik pangkal pada observasi yang mengkorelasi
pengetahuan biologi tubuh saat itu dengan realitas metafisis untuk menghasilkan
suatu paham antropologi (DeCrane, 2004: 97). Jauh di atas semuanya, pandangan-pandangan
bias gender dan biner patriarki itu merepresentasi kultur paternalistik yang
mengental berabad-abad.
Sesat pikir tentang perempuan berurat akar sekian lama
dan sudah menjadi latar (frame of
reference) dari rupa-rupa problematika kekerasan sosial yang sistemik.
Sesat pikir berujung pada peraguan eksistensi perempuan. Perannya
dimarjinalisasi. Statusnya the second
class, budak, pemuas dahaga, pelumas kota-kota modern, santapan lezat entertainment dan infotainment, objek komersialisasi dalam bisnis industri, dan
penghias di balik gegap-gempita atau glamour
eksotisme pariwisata.
Tulisan ini mengangkat panorama buruk tentang perempuan yang
dilukiskan secara ekspresif dalam novel karya Nawal El-Saadawi, Perempuan di
Titik Nol. Derita perempuan dieksplorasi dari novel karya seorang dokter Mesir,
novelis, dan pembela hak-hak perempuan itu, dengan menampilkan tokoh utama
Firdaus yang sedang menghitung hari pelaksanaan hukuman mati atasnya dari apa
yang dituduhkan penegak hukum sebagai pembunuh. Sisi tilik feminisme pada novel
ini dipakai untuk meneropong realitas subordinatif yang terus menggejala dalam
praksis interelasi laki-laki dan perempuan modern.
GAMBARAN UMUM NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL
Biografi Penulis
Perempuan di
Titik Nol merupakan karya Nawal El-Saadawi. El-Saadawi adalah seorang dokter
bangsa Mesir. Namanya terkenal di seluruh dunia sebagai novelis dan pejuang
hak-hak asasi perempuan. Ia lahir di desa Kafr Tahla di tepi Sungai Nil. Awal
petualangannya dimulai sejak ia melakukan praktik dokter di daerah pedesaan,
kemudian rumah-rumah sakit di Kairo, dan Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir.
Tahun 1972, sebagai akibat diterbitkannya buku non-fiksi yang berjudul Women and Sex, ia dibebastugaskan dari
jabatan sebagai direktur dan pemimpin redaksi majalah Health.
Semangat yang
membakar jiwanya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan tidak bisa dipadamkan. Hasrat
mengambil bagian dalam memikul beban sesama perempuan tidak bisa dibendung. Setelah
mendapat sangsi yang sempat memangkas kebebasan intelektualnya, ia kembali berkarya
dengan menerbitkan sejumlah buku tentang status, psikologi, dan seksualitas perempuan.
Tetapi beberapa karyanya disensor badan sensor Mesir dan dilarang beredar di
Saudi Arabia dan Lybia. The Hidden Face
of Eve adalah buku pertamanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Karya-karyanya antara lain: Women and
Sex, Women and Psychological Conflict (buku-buku mengenai perempuan); The Chant of the Children Circle, Two Women
in Love, God Dies by the Nile, Memoirs of a Lady Doctor (novel); A Moment of Truth, Little Symphaty
(cerita pendek).
Sinopsis
Perempuan di Titik Nol mengisahkan tokoh utama Firdaus
sebagai perempuan yang taat pada agama dan adat-istiadat namun tersandung kasus
korban eksploitasi kaum adam. Tirai kisah dibuka saat El-Saadawi, sang penulis,
mengisahkan ketertarikannya terhadap seorang narapidana perempuan Mesir bernama
Firdaus. Narapidana yang ditahan di penjara Qanatir itu didakwa telah membunuh
seorang germo. Melalui sebuah usaha yang cukup rumit, El-Saadawi dapat bertemu
Firdaus yang biasanya menolak bertemu siapa saja. Firdaus ngotot ingin dihukum
mati. Ia menolak menulis permohonan untuk keringanan hukum karena berpikir dirinya
tidak bersalah. Isi pertemuan mereka diungkapkan pada bagian selanjutnya di
mana kisah hidup Firdaus mulai dikuak tajam dan lengkap.
Firdaus lahir dan dibesarkan dari keluarga yang miskin. Tipikal
sang ayah temperamental dan pemalas. Ia hanya sibuk dengan kesenangan pribadi. Ibu
dan anak-anak dibiarkan lapar. Saudara-saudara Firdaus satu persatu mati karena
tidak tahan dengan perut yang terus mengeroncong. Untuk memenuhi kebutuhan
makan-minum keluarga, ayah yang buruk tabiat itu memaksa Firdaus bekerja. Jika
sepulang bekerja Firdaus kecil membawa makanan, ayah yang egois itu menghabiskan
semua makanan di depan si isteri dan anak-anak tanpa berpikir anggota
keluarganya kelaparan. Tak ada rasa sayang dialami Firdaus. Pada musim dingin
yang mencekam, tempat tidur ayah digeser dekat tungku api nan hangat, sedangkan
tempat tidur anak-anak “ditendang” ke pojok dekat pintu tanpa selimut, sehingga
udara gurun mencekam mereka. Anak-anak berlaku bagai budak. Selalu disiksa atau
dianiaya. Sementara si ibu lebih patuh pada ayah tanpa perlawanan. Di mata
ayah, ibu adalah pembantu, pesuruh. Pengalaman tak berdaya itu melukai batin
Firdaus pada kedua orangtuanya. Firdaus memiliki teman bermain, Muhammadain,
yang sedikitnya dapat menghibur hatinya yang gunda. Dengan teman sepermainannya
itu, Firdaus merasakan pengalaman seksual pertama kali.
Ketika keinginan akan kasih sayang dan perhatian terkikis
habis, hadirlah sosok paman berpenampilan alim dan religius. Paman adalah
seorang agamawan yang patuh dan taat pada perintah agama. Dia menganggap Firdaus
layaknya anak kandung..
Sebagai anak kecil, Firdaus rindu bersekolah. Atas
kebaikan sang paman, Firdaus menikmati keindahan dunia pendidikan. Sayang
sekali, seiring waktu berlalu nafsu bejak paman saleh itu merengkuh martabat dirinya.
Firdaus dipaksa melayani keinginan seksual paman. Ketika si paman memperoleh
jabatan pada suatu kementerian wakaf dan menikah dengan puteri gurunya di
El-Ashar, paman bersama isteri dan Firdaus berpindah ke sana. Firdaus
melanjutkan sekolah di El-Ashar. Suatu hari paman bertengkar dengan isterinya
tentang masalah Firdaus, entah apa alasannya, yang membuat Firdaus dititipkan di
asrama putri di tempat ia bersekolah. Tiga tahun berselang Firdaus lulus dengan
prestasi yang sangat baik. Ia kemudian hidup bersama paman.
Selama kebersamaan itu Firdaus sangat patuh terhadap segala
perintah dan petuah paman. Tetapi isteri paman tidak suka dengan Firdaus,
sehingga mereka menjodohkan Firdaus dengan Syeikh Mahmoud, seorang duda berusia enam
puluhan tahun, dengan bisul di dagunya yang selalu mengeluarkan aroma busuk. Tidak
ada pilihan lain bagi Firdaus, ia hanya manggut-manggut pada mereka yang sudah
berjasa itu.
Pernikahan dengan Syeikh sama sekali tidak bahagia. Roda
perkawinan selalu dihantui aksi-aksi kekerasan dalam banyak hal yang
menimbulkan luka batinnya makin menganga. Firdaus sering dipukul hingga
berdarah-darah lantaran masalah sepele. Ini akibat karena perkawinan mereka tidak
didasari cinta melainkan hasil “jual-beli” dengan harga seratus pon. Paman dan
bibi coba mengambil untung dari keinginan Syeikh, si kaya dan pelit, untuk
mendapatkan isteri. Penganiayaan sang suami yang dialami Firdaus bertubi-tubi berujung
pelarian dari rumah.
Dalam perjalanan berderai air mata tanpa arah itu, tampillah
beberapa figur yang mengangkat Firdaus dari jeritan panjang. Mula-mula Firdaus
berpapasan dengan Bayoumi, seorang pemilik warung yanag berbaik hati.
Tinggallah Firdaus di tempat Bayoumi. Firdaus diberi jaminan makan dan minum. Cinta
keduanya mulai bersemi seiring kebersamaan mereka. Bayoumi tampak bukan orang
yang kasar. Tidak terlihat tanda-tanda ia melakukan kekerasan. Keadaan berubah
pada suatu hari. Bayoumi memukulinya sekeras mungkin pada wajah dan perut
hingga Firdaus tak sadarkan diri. Ambruk. Pingsan. Siapa sangka serigala
berbulu domba. Bayoumi melakukan kebejatan terhadap Firdaus. Setiap malam
Bayoumi ‘menindih’-nya. Firdaus terpejam diam tanpa kata, tanpa bisa merasakan
apa-apa kejadian pahit itu. Teman-teman Bayoumi pun turut melancarkan aksi
bejatnya. Suatu hari lewat kisi-kisi pintu, tetangga melihat FIrdaus dan
menolongnya. Atas bantuan tetangga, Firdaus berhasil melarikan diri dari
kungkungan Bayoumi.
Dalam meniti hidup yang tak pasti, Firdaus secara tak
sengaja bertemu Sharifa, sosok perempuan penyayang dan perhatian. Firdaus
tinggal dalam jaminan hidup yang aman, seperti kamar yang wangi, kasur yang
empuk, dan pakaian yang indah. Juga, para lelaki yang datang secara bergantian,
yang “kuku-kukunya pun bersih dan
putih, tidak seperti kuku Bayoumi, yang hitam seperti gelapnya malam, juga
tidak seperti kuku Paman dengan tanah di bawah ujung kukunya’. Sharifa
mengajarinya banyak hal, salah satunya tentang apa artinya perempuan di mata
lelaki. “Kau gagal memberi nilai yang cukup tinggi untuk dirimu. Lelaki tidak
tahu nilai seorang perempuan, Firdaus. Perempuan itu sendirilah yang menentukan
nilai dirinya. Semakin tinggi kau menaruh harga dirimu, semakin dia (lelaki)
menyadari hargamu itu sebenarnya”.
Kata-kata itu menuntun Firdaus pada jalan hidupnya
kemudian. Tidak ada dalam bayangan Firdaus bahwa Sarifah seorang germo yang
memiliki sindikat rapi dalam bisnis prostitusi. Cara-cara licik Sharifa terus
memperdaya Firdaus. Firdaus seperti terkatup mulutnya untuk berkata-kata memberi
perlawanan. Bahkan ketika Fawzi ingin menikahi Firdaus, Sharifa menolak
mentah-mentah. Apa motifnya? Firdaus tidak sadar bahwa dirinya telah
dimanfaatkan Sharifa untuk menghasilkan uang.
Seorang laki-laki memasuki kamarnya dan menyadarkan
perbuatannya. Atas hasutan dari laki-laki itu, Firdaus berhasil kabur dari
rumah Sharifa. Suatu ketika ia berpapasan dengan beberapa laki-laki yang ingin
menikmati kesenangan. Tetapi ada seseorang yang memberinya lebih dari cukup. Pengalaman
ini menjadi awal untuk memasang harga tinggi bagi para pelanggan sekaligus
mengantarnya pada status sebagai pelacur sukses, yang memiliki sebuah
apartemen, seorang koki, seorang manajer, rekening bank yang terus bertambah,
waktu senggang untuk bersantai atau jalan-jalan, serta kawan-kawan yang ia
pilih sendiri. Ia membangun apartemen dan perpustakaan untuk dirinya sendiri.
Di apartemen dan perpustakaan itu ia bertemu Di’aa, seorang jurnalis yang
mengkritisi dunia Firdaus yang kotor dan terlarang.
Kritikan Di’aa diterima. Bermodalkan ijazah SMA, Firdaus
berani meninggalkan harga kekayaan. Ia kemudian tinggal di sebuah pondok mungil
kumuh, dan bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji amat kecil. Di
perusahaan tempat ia bekerja, terjadi kesenjangan yang lebar antara karyawan
berpangkat tinggi dan karyawan rendahan. Banyak karyawati yang merelakan tubuh
mereka pada para atasan agar lekas naik pangkat atau agar tidak dikeluarkan.
Namun Firdaus tidak akan menghargai dirinya semurah itu, terlebih karena
pengalamannya yang biasa dibayar dengan harga sangat mahal. Tidak seorang pun
di perusahaan itu yang bisa menyentuhnya.
Keinginannya kuat. Tidak boleh lagi jatuh ke lembah yang
sama. Ia ingin menjadi manusia normal, perempuan biasa yang mencintai. Di
tempat bekerja itu ia bertemu seorang revolusioner yang memperjuangkan nasib
para karyawan rendahan, namanya Ibrahim. Cinta mereka bersemi, bahkan sempat
“tidur bersama”. Maksud hati memeluk gunung, cintanya kandas di tengah jalan.
Ibrahim diketahui telah bertunangan dengan puteri presiden direktur.
Firdaus patah hati. Sudah jatuh tertimpa tangga. Ia
merasa tidak ada lagi yang peduli dengan dirinya. Ia kembali ke dunia gelap
dengan memasang tarif yang tinggi bagi siapa saja yang mau menikmati tubuhnya.
Ia jadi pelacur yang bebas tanpa kontrol dan intimidasi. Dalam lubuk hatinya ia
ingin menjadi pelacur sukses. Sebab, “Seorang
pelacur yang sukses lebih baik dari seorang suci yang sesat”, prinsipnya.
“Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan,
dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat
terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh terlalu rendah, mengikat
mereka dalam perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur
mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.” Pada
pelarian terakhir ia menempuh kehidupan gelap di lorong-lorong kota hingga
akhirnya ia membunuh seorang germo, Marzouk, yang membuatnya dijebloskan ke
penjara untuk dihukum mati.
Karakter
para Tokoh
Firdaus
|
Pelaku
utama, sosok perempuan tegar dan kuat di tengah rentetan trauma kekerasan
yang menimpahnya
|
Ayah
Firdaus
|
Seorang
yang hanya mementingkan diri sendiri
|
Ibu
Firdaus
|
Penurut,
tidak berdaya di hadapan suami, seorang ibu yang lebih suka melayani suami
ketimbang memperhatikan anak-anak
|
Paman
Firdaus
|
Seseorang
agamawan yang alim dan “sok” dekat dengan Firdaus. Di balik kata-kata
salehnya ia seorang penjilat yang ingin mengganti-rugi biaya sekolah Firdaus
dengan servis seks terhadap dirinya
|
Bibi
Firdaus
|
Isteri
paman yang tamak dan materialis; dialah yang membujuk si paman untuk
menjodohkan Firdaus dengan Syeikh Mahmoud
|
Syeikh
Mahmoud
|
Suami
Firdaus berwajah otoriter, pelit, berhawa nafsu tinggi. Cinta baginya adalah
bermain seks
|
Muhammadain
|
Teman
sepermainan masa kecil Firdaus
|
Sarifah
|
Perempuan
yang menyelamatkan Firdaus dari jeratan pelecehan. Ternyata Sarifah seorang
germo yang menggiring Firdaus menjadi pelacur
|
Bayoumi
|
Pemilik
warung yang berpura-pura menolong Firdaus tetapi akhirnya merenggut tubuh
Firdaus dan menjajakannya kepada para pengunjung warung
|
Di’aa
|
Wartawan
dan penulis yang menyadarkan Firdaus akan dunianya
|
Nona
Iqbal
|
Perempuan
yang memahami Firdaus dan yang mendampingi Firdaus ketika berada di asrama
|
Ibrahim
|
Tokoh
revolusioner yang tidak kalah kurang ajarnya karena mempermainkan cinta
Firdaus
|
Marzouk
|
Germo
yang dibunuh Firdaus karena hendak merampas kebebasannya
|
Alur
Novel Perempuan di Titik Nol menggunakan alur maju-mundur.
Kisah bertolak dari situasi Firdaus dipenjara untuk menunggu eksekusi mati. Dari
titik situasi ini kisah direntang secara flashback
ke pengalaman-pengalaman awal pada masa kecil. Kisah-kisah sejak masa kecil
yang penuh derita hingga ditelantarkan pada masa dewasa memberikan suatu perspektif
bagaimana ia membunuh orang hingga akhirnya ia dilemparkan ke bilik penjara
untuk dieksekusi. Tetapi ada kalanya kisah mengalami bolak-balik pada peristiwa
di masa kecil dan saat dewasa.
KEKERASAN
DALAM NOVEL “PEREMPUAN DI TITIK NOL”
Keluarga
dalam Rumah Tangga
Kekerasan
dalam rumah tangga meliputi beberapa bentuk, yakni kekerasan fisik, kekerasan
psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran. Hal ini terlihat jelas dalam
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKRT) Nomor 23 Tahun
2004 (Komnas Perempuan, 24-26).
Kekerasan fisik
|
Kekerasan seksual
|
Kekerasan seksual
|
Penelantaran
|
Perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, luka berat (psl. 6)
|
Perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang (psl. 7)
|
Pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut,
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu
(psl. 8)
|
Tindakan mengabaikan tanggung jawab
untuk memberikan kehidupan,, perawatan, atau pemeliharaan orang yang berada
dalam tanggung jawabnya (psl. 9), tindakan yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut (psl. 10)
|
Seturut pengalaman Firdaus, keluarga bukan tempat yang
tepat untuk mendapat hak kasih sayang sebagai anak. Anak yang dibesarkan tanpa
kasih. Kasih sayang tidak ia dapatkan dari kedua orangtua. Kebebasannya sebagai
anak dipasung. Haknya dikerdilkan. Pengalaman masa kecil mengantarnya pada
pemahaman tentang situasi keluarga dan peran ibu yang harus “setia” pada raja
bernama ayah. Ia melihat ibunda pada malam hari selalu membasuh kaki sang ayah
sebelum tidur. Suatu kewajiban yang diemban oleh ibu rumah tangga (Saadawi,
2003: 24-26).
Dominasi yang eksploitatif terhadap ibu dan Firdaus kecil
menyata dalam rentetan aksi kekerasan yang dilakoni sang ayah. Anak-anak sering
dipukul tanpa alasan yang jelas. Ibunda hanya terpaku diam melihat watak ayah
yang kejam dan bengis. Perlakuan terhadap ibu tidak lebih baik dari anak-anak.
Menerima perlakuan kasar sudah jadi menu hariannya. Saat ibu dan anak-anak
menderita rasa lapar karena beberapa hari tidak makan apa pun, ayah yang egois itu
melahap habis makanan yang dibawa Firdaus di depan dirinya dan ibunda. Betapa
keji sang ayah membiarkan anggota keluarganya sakit. Firdaus benci pada ayah
dan ibunya yang dingin dan “setia”.
“Saya
berdiri di depan cermin itu dan memandang wajah saya. Siapakah saya? Firdaus
.... Hidung bulat saya peroleh dari ayah dan mulut bibir tipis saya dari ibu.
Suatu perasaan tertekan menguasai tubuh saya. Saya tidak senang melihat bentuk
hidung maupun bentuk mulut saya .... Hati saya dipenuhi rasa benci yang
mendalam pada cermin itu” (Sadaawi, 2003:
28-29).
Firdaus benci pada tubuhnya, dirinya, lantaran mendapat
warisan genetis yang termanifestasi dalam karakteristik fisiologis mirip orangtua.
“Saya tidak senang melihat bentuk hidung maupun bentuk mulut saya”. Ia benci
hidung besar mirip ayah dan bibir tipis hasil fotokopi bibir ibu. Benci hidung
dan mulut berarti benci dirinya sendiri. Benci diri berarti bersedia terasing
dari diri sendiri. Ia mengungkung diri di dalam dirinya sendiri. Sepi. Anomali.
Yang tersisa cuma derai air mata meratapi kenangan pahit.
Rumah tangga kedua Firdaus adalah perkawinannya bersama
Syeikh Mahmoud, suaminya. Perkawinan adalah “lembaga yang dibangun atas
penderitaan yang paling kejam untuk kaum perempuan” (Saadawi, 2003: 26). Kesan
ini bukan suatu sikap apologetis melainkan lahir dari fakta. Saadawi sang
penulis ingin menceritakan sepucuk kisah yang dialami isteri Syeikh Mahmoud itu.
Firdaus membentangkan suatu gambaran anarki terselubung dalam aras relasi
suami-isteri. Perkawinan adalah suatu upaya legalisasi formal yuridis atas
kekerasan yang dilakukan Syeikh terhadap Firdaus. Kekerasan terhadap isteri di
bawah atap rumah tangga adalah wajar, dan kesalahan selalu dilimpahkan kepada
si isteri.
Hidup bersama Syeikh tidak lain daripada pembelengguan
untuk menumbuhkan kepatuhan Firdaus terhadapnya. Kekerasan terhadap si isteri sangat
pahit namun tersembunyi rapi di dalam atap institusi perkawinan. Setiap bentuk
pengungkapan dan pemberontakan isteri pasti didiamkan. Hal ini dialami Firdaus.
Rumah tangganya hampa total berujung hancur. Syeikh adalah corong suami duda
tua bermuka buruk penuh borok yang membangun pilar-pilar rumah tangga di atas
iming-iming uang. Cinta disogok dengan seonggok harta. Ia menyangka kekayaannya
dapat menggaet hati Firdaus. Firdaus yang lahir dari keluarga sulit dan sangat
miskin dikira takluk pada lelaki matre. Ternyata cinta yang dibalut materi berubah
menjadi sarang kekerasan. Syeikh yang sudah memberi “”mahar” kepada paman dan
bibi seolah-olah memiliki Firdaus untuk dimanipulasinya sesuka hati.
Sublimasi depresi pada masa kecil karena dianiaya dan
ditelantarkan orangtua, bertambah parah setelah bersuami. Rumah tangganya tidak
dipandang sebagai “home”, melainkan
sebatas ruang material (house) tempat
dua individu suami-isteri berlain hati. Hanya air mata berderai yang menetes
dari pelupuknya adalah satu-satunya bahasa pasrah yang paling bisa dimengerti
sebagai seorang isteri.
Perkawinan juga suatu ajang bagi keluarga besar Firdaus untuk
melakukan semacam “komersialisasi”. Paman dan isterinya adalah orang tua yang
menggantikan ayah-ibunya. Isteri paman yang gila harta merusak perkawinan
Firdaus. Dasar perkawinan Firdaus bukan cinta, melainkan motivasi finansial antara
Syeikh dengan paman dan bibi yang ingin kaya. Kebersamaan tanpa fondasi kasih
sayang membuat Firdaus mengemban tugas sebagai isteri dalam keadaan tertekan. Termasuk
tekanan paling ngeri adalah menerima nafsu birahi suami tanpa kasih.
Pada waktu
malam dia (suami) akan melingkarkan kakinya dan memeluk tubuh saya, dan
lengannya yang berkenyal-kenyal dan sudah tua itu menggerayangi seluruh tubuh
saya seperti kuku-kuku seorang lelaki yang hampir mati kelaparan karena tidak
memperoleh mkanan selama bertahun-tahun dan menghabiskan semangkuk makanan
tanpa meninggalkan sebutir pun sisa makanan (Sadaawi, 2003: 61).
Firdaus adalah simbol objek komodifikasi untuk
menguntungkan pihak pemilik anak perempuan, simbol dominasi lelaki dalam lingkup
rumah tangga dan komunikasi yang terdistorsi suami-isteri. Perkawinan Firdaus tidak
lain daripada lingkaran setan di mana sang suami memandang dia seperti budak. Perkawinan
tidak lain daripada sebentuk pelembagaan untuk membungkam dan menindas anak-anak
dan perempuan. “Seorang isteri yang bijak tidak layak mengeluh tentang
suaminya. Kewajibannya adalah kepatuhan yang sempurna” (Sadaawi, 2003: 61).
Kekerasan dalam Masyarakat dan
Pembiaran Negara
Laporan Paripurna Pelapor Khusus PBB mengenai kekerasan
terhadap perempuan menyebutkan beberapa jenis kekerasan dalam lembaga-lembaga
masyarakat dan kekerasan yang dilakukan oleh negara (Komnas Perempuan, 26-29).
Kekerasan dalam lembaga-lembaga masyarakat
|
Kekerasan oleh negara
|
Perkosaan (art. 172),
Kekerasan seksual (art. 190),
Prostitusi dan perdagangan perempuan (190)
|
Kekerasan penahanan terhadap perempuan (art. 248),
Kekerasan terhadap perempuan dalam situasi atau wilayah
konflik (art. 161),
Kekerasan pengungsi dan perempuan yang mengalami
dislokasi (art 293-294)
|
Saat Firdaus mengingkari keluarga dan rumah tangga
perkawinannya, siapakah yang dapat menolong Firdaus? Dari pengalaman Firdaus, para
lelaki cenderung kasar. Banalitas para lelaki yang liar tampak dalam berbagai
bentuk, entah kata atau laku. Pikiran lelaki dililiti fantasi seksual ketika
memandang perempuan. Kehormatan perempuan menjadi begitu mudah dipikirkan dari
kaca mata lelaki sebagai pemuas dahaga. Kaum lelaki telah menciptakan dalam
dirinya konsep subordinatif tentang perempuan yang dipaksakan dan “dibiasakan”
untuk memandang perempuan seperti itu.
Rentetan watak otoriter ayah dan perilaku binal Syeikh,
diikuti kejadian-kejadian di alam terbuka seperti dunia bisnis, politik dan
hukum. Para lelaki yang menikmati lekak-lekuk tubuh Firdaus justeru
mempersalahkan Firdaus di mata hukum. Marzouk yang mengancamnya membuat Firdaus
berniat untuk melaporkan kepada polisi, tetapi Marzouk adalah orang yang
memiliki hubungan baik dengan polisi, dan hukum mempersalahkan Firdaus pelacur.
Niatnya lumpuh total untuk menempuh prosedur hukum. Tidak ada tempat yang aman.
Hukum positif sebagai sandaran terakhir tidak dapat diharapkan. Hukum berpihak
pada laki-laki karena diciptakan dari ide atau konsep para lelaki yang dipakai
untuk melindungi dirinya sendiri. Ketika dokter penjara memohon grasi pengurangan
masa tahanan atas hukumannya, Firdaus malah menolak dengan alasan bahwa ia
ingin menikmati kebebasan sejati. Ia ingin menerima tindakan yang memberi basis
argumentasi yang tepat bahwa ia pantas menerima hukuman mati karena dengan itu
ia merasa tidak bersalah. Firdaus adalah simbolisme ketakberdayaan perempuan
yang tidak sanggup melawan kekuasaan lelaki. Ketakberdayaan yang melingkarnya
dari berbagai sisi. Pemerintah justeru bungkam. Perempuan tidak hanya menderita
tetapi juga dibiarkan terus menderita oleh negara. Inilah suatu kejahatan lain
yang dilakukan dari luar. Kejahatan negara tidak hanya melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan tetapi juga membiarkan sesuatu
yang jahat terjadi begitu saja.
RELEVANSI
UNTUK KONTEKS KEKINIAN
Eksploitasi
Anak
Firdaus dapat dibaca dalam terang simbolisme anak-anak
yang terasing dari rumah. Anak-anak yang bertumbuh tanpa isi perut dan perasaan
hati yang memadai. Firdaus adalah anak modern yang tereksploitasi. Bukan tidak
mungkin cerita dengan setting dunia
Timur Tengah itu relevan untuk konteks anak-anak di Indonesia. Firdaus, anak
yang terbudak orangtuanya, juga dialami anak-anak seusianya di negeri kita.
Dewasa ini anak-anak sering disandera perbudakan
versi-versi baru. Mereka terasing dari rumah. Mereka dipaksa orangtua untuk
mencari sesuap nasi bagi para ayah yang malas dan tidak kreatif. Mereka juga adalah
korban kerakusan sistem-sistem ekonomi politik kapitalis yang ganas. Seperti
Firdaus kecil, anak-anak modern rentan stres. Organisasi Perburuhan
Internasional (ILO) menemukan bahwa anak-anak modern gampang terjebak dalam
perdagangan untuk dipekerjakan dalam bisnis pelacuran dan pornografi, pengemis,
pembantu rumah tangga, perdagangan narkoba, dan jenis-jenis pekerjaan
eksploitatif misalnya bekerja di jermal. Lingkungan anak tidak lagi ramah.
Anak-anak dibayangi ketakutan dan pesimisme lantaran sejak dini mereka mengalami
perbudakan. Seperti Firdaus, pesona erotisme seksual menggoda anak-anak untuk
dijadikan permainan para pelanggan. Hull dkk menemukan bahwa anak-anak secara
tradisional sudah masuk ke industri seks sejak usia sangat muda. Layanan seks begitu
mudah ditemukan di lokalisasi, perumahan, hotel, bar, restoran, salon
kecantikan, dan sebagainya. 30% pekerja seks di Indonesia, seperti dikatan
Farid, masih berusia di bawah 18 tahun (Irwanto, dkk. 2001: 29-30).
Seperti Firdaus di usia kecil, banyak anak terlantar dan
harus menderita dini dalam mempertahankan hidupnya. Kisah tragis yang menimpa
si anak jalanan, lagu sendu dari bibir kering si pengamen di dalam bis-bis
kota, kata-kata memelas yang merintih pilu dari si pengemis di setiap sudut jalan
dan pintu-pintu rumah kita, adalah potret nyata rendahnya respek terhadap
anak-anak (Nelwan, 2011).
Redefinisi
Status Kepala Keluarga
Otoritas kepala keluarga sering dipakai sebagai instrumen
kekuasaan untuk memenuhi ego pribadi. Dalam budaya partriaki, kata-kata kepala
keluarga yang keluar dari mulutnya ibarat titisan dewa. Perintahnya tidak boleh
dilanggar. Jika dilanggar, kaki dan tangan adalah ikutannya. Ia adalah raja di
istana keluarganya. Ia merasa paling berkuasa ketimbang isteri dan anak-anak.
Ia membuat aturan sendiri tetapi
gampang tersinggung dan tidak tahan kritikan. Bila ia melanggar aturan, ia
tidak mau disalahkan. Keluarga dan perkawinan adalah kantong-kantong kekerasan.
Pada masa kini Ada
desakan bahwa bukan zamannya lagi mempertahankan otoritarianisme kepala
keluarga terhadap isteri dan anak-anak. Monopoli kekuasaan laki-laki harus berakhir. Perempuan telah merasa merdeka
dari penjara domestifikasi. Pemberontakan Firdaus untuk menentukan diri sendiri
tampak dalam kultur liberalisasi di era kini dengan apa yang disebut Anthony
Giddens sebagai “seksualitas plastis” (plastic
sexuality) yakni sejenis “seksualitas tak terpusat” (decentred sexuality) yang terbebas dari kebutuhan reproduksi. Orientasi
perkawinan pada relasi ekonomis, seperti diderita Firdaus yang dianut
masyarakat tradisional, telah diganti oleh perasaan suka sama suka. Perkawinan
begitu gampang. Asalkan si laki-laki menyatakan cintanya dan perempuan
menganggukkan kepala, maka jadilah persatuan mereka. Rumah tangga dibangun di
atas keintiman dan komunikasi emosional dua belah pihak. Dengan fenomena ini,
Giddens mensinyalir adanya “transformasi keintiman” di mana keintiman dilihat
sebagai negosiasi transaksional dari ikatan-ikatan personal oleh orang-orang
yang setara. Transfromasi ini memungkinkan adanya demokratisasi di ruang paling
intim tersebut (Munti, 2005: 32-33).
Kesetaraan suami-isteri tidak boleh sebatas jargon yang
didengungkan tanpa konteks, melainkan harus menggema pada arah yang paling
dasar, yakni keluarga dan perkawinan. Filsuf Amerika, Tocqueville, mendorong
keluarga-keluarga untuk melakukan transformasi kultural dari pola patriarkis-aristokrat,
di mana bapak keluarga berstatus sebagai raja di singgasana kerajaan rumah
tangganya, sedangkan anak-anak dan isteri adalah bawahan-bawahannya, kepada
pola demokratis. Struktur hierarki patriarkis-aristokrat yang membentuk konsep
diri bapak kepala keluarga sebagai raja superior harus ditinggalkan untuk
membentuk keluarga yang sehat (Janara, 2002: 164).
Jadi, otoritas tertinggi tidak
lagi melekat dalam diri pribadi kepala keluarga. Di sini terbesit harapan,
kepala keluarga harus ikhlas melepaskan kekuasaan tertinggi dan absolut pada
dirinya yang sejak lama diberlakukan secara sepihak dan dianggap benar oleh
dirinya sendiri. Dalam sistem demokratis, kepala keluarga adalah koordinator
keluarga. Perannya sebatas manajerial dalam tata kelola rumah tangga, tetapi
bukan legitimasi status sebagai penguasa. Ia simpul lalu lintas informasi yang
mengarahkan berbagai aktivitas keluarga sedemikian rupa sehingga
rencana-rencana dan tujuan-tujuan keluarga yang sebelumnya telah disepakati
bersama dapat tercapai secara efisien dan efektif (Nelwan, 2011).
Hubungan yang baik bebas dari kekuasaan sewenang-wenang,
kekerasan, dan penindasan. Mengikuti gagasan Giddens, keluarga-keluarga harus
menerapkan “demokrasi emosi” dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan emosional
(cinta) yang melandasi bangunan keluarga harus berjalan sesuai prinsip-prinsip
demokrasi seperti kesetaraan, keadilan, dan persamaan hak (Giddens, 2003: 61).
Keluarga adalah sumber nilai, keutamaan, dan cinta yang melahirkan harmoni dan
persaudaraan. Orangtua kita adalah pekerja kebunnya yang menyirami tanaman :bernama
anak-anak dengan air kasih sayang (Rodriguez, 2009: 22).
Minimalisai Kekerasan dalam
Masyarakat
Liberalisasi dan globalisasi memberikan angin segar bagi
perempuan untuk mengambil bagian dalam kehidupan publik. Di Indonesia napas
kebebasan mulai dirasakan setelah rezim otoriter Soeharto tumbang dari kekuasaannya.
Bukan hanya pihak minoritas yang mendapat kesempatan, perempuan juga menikmati
kebebasan. Tidak sedikit perempuan yang menjadi politisi, penegak hukum, dan
penguasaha. Tidak sedikit perempuan yang memperoleh kualifikasi pendidikan
tertinggi. Spirit demokratisasi pasca rezim totaliter itu dirasakan secara
luas.
Akan tetapi, kebebasan itu bukan tanpa cacat bagi
perempuan. Obsesi modernisasi memicu adanya pertumbuhan ekonomi dan kehadiran
kota-kota industri baru yang menarik tenaga-tenaga kerja begitu banyak dengan
upah murah. Industrialisme meningkatkan ketergantungan orang-orang pada
penghasilan, sementara budaya konsumsi rumah tangga makin tinggi. Stres ekonomi
rumah tangga membuat anak-anak dan para isteri harus mencari pekerjaan untuk
menambah penghasilan suami. Pemandangan dunia kerja tidak selalu elok.
Eksploitasi tenaga kerja menjadi pemandangan umum. Upah murah, tidak ada
jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, pemutusan kerja sepihak terhadap
pekerja yang tidak produktif, adalah praktik-praktik yang sudah lumrah. Media-media
massa membidik perempuan sebagai target sasaran tembak. Media-media sering
terjebak dalam logika pasar. Iklan-iklan merekrut mereka yang cantik untuk
melakukan promosi dan menciptakan sentimen positif atas produk. Perempuan,
uang, dan produk adalah tiga bersaudara dalam logika dan imajinasi media.
Kita juga menghadapi jenis-jenis kekerasan baru seperti cyber-crime, yang tidak dilakukan secara
terang benderang melainkan melalui suatu sistem anonim oleh tangan-tangan yang
tidak kelihatan (invisible hands),
meminjam istilah Adam Smith, yang jahil dan tanpa bersalah. Oleh karena itu,
globalisasi tidak menghilangkan kekerasan-kekerasan lama yakni eksploitasi
laki-laki terhadap perempuan. Barangkali yang harus dipikirkan adalah penguatan
fungsi negara. Negara harus kuat untuk mengendalikan harmonisasi sosial dan
egalitas gender.
Penutup
Masalah perempuan sudah lama menjadi perhatian serius
dunia internasional. Berbagai konferensi internasional sudah diselenggarakan.
Di Meksiko tahun 1975; di Kopenhagen, Denmark, tahun 1980; kemudian konferensi
di Nairobi Kenya tahun 1985; konferensi Beijing tahun 1995 (Sadli, 2010: 35).
Cerita Firdaus yang diangkat dari novel Perempuan di
Titik Nol hanyalah satu perspektif dari rintihan pada perempuan global yang
mengalami penindasan. mengisahkan tragedi pilu yang dialami perempuan bernama
Firdaus. Firdaus adalah anak perempuan, ibu rumah tangga, dan isteri yang dikorbankan kekuasaan laki-laki. Saya
menyadari bahwa sepatutnya tulisan ini harus berasal dari imajinasi dan
pemikiran orisinal kaum peremuan, bukan dari sudut pandang saya sebagai
laki-laki.
Menempatkan posisi sebagai perempuan tidaklah masuk akal.
Saya sendiri pun adalah laki-laki yang dibesarkan dari budaya patriarki, dan bersifat
manis terhadap perempuan dari pemikiran lelaki saya sebagai penguasa yang saya
tuduhkah dalam tulisan ini, harus dikritisi. Tetapi ide-ide para lelaki juga
telah banyak beredar untuk membantu proses emansipasi. Kiranya laki-laki dan
perempuan adalah mitra sederajat, seperti yang direncanakan Tuhan di awal
penciptaan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan sesuatu yang nyata dan makin
sering terjadi di dunia modern ini. Populasi yang kian padat menciptakan
kompetisi ketat, di mana perempuan sering dijadikan kelompok rentan menerima
akibat kompetisi global yang tidak sehat. Untuk itu, dibutuhkan suatu empati
yang meluas tentang bagaimana laki-laki dan perempuan harus berada bersama.
Daftar
Pustaka
Sumber
utama
El-Sadaawi,
Nawal. 2003. Perempuan di Titik Nol. Terj.
Amir Sutaarga Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Sumber penunjang
DeCrane, Susanne M. 2004. Aquinas, Feminism and the Common Good. Washington DC: Georgetown University Press.
Dirks, Jerald F. 2004. Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seru
Antara Islam, Kristen dan Yahudi. Jakarta: Serambi.
Giddens, Anthony. Runaway World: Bagaimana Globalisasi
Merombak Kehidupan Kita, terj. Andry Kristiawan S dan Yustina Koen S,
Jakarta: Gramedia, 2003.
Irwanto, dkk. 2001. Perdagangan
Anak di Indonesia. Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional.
Janara, Laura. 2002. Democracy
Growing Up: Authority, Autonomy, and Passion in Tocqueville’s Democracy in
America, Albany: State University of New York Press.
Komnas Perempuan. [tanpa tahun]. Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi
Keadilan (Respon Katolik). Jakarta: Komnas HAM.
Kleden, Paul Budi. 2002. “Thomas Aquinas tentang
Perempuan”, VOX, seri/46/4/2002.
Munti, Ratna Batara. 2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Digital. Yogyakarta: LkiS.
Rodriguez, Richard
T. 2009. Next of Kin: The Family in Chicano/a
Cultural Politics, USA: Duke
University Press.
Saparinah Sadli. 2010.
Berbeda tapi Setara: Pemikiran tentang
Kajian Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Internet
Zian Armie Wahyufi, Review Perempuan di Titik Nol Novel“, dalam http://zianarmie. blogspot.
co.id/2014/05/review-perempuan-di-titik-nol-novel.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar