Sabtu, 15 Juli 2017

NASIB SIAL PEREMPUAN, BERKACA PADA NOVEL “PEREMPUAN DI TITIK NOL”



OLEH: AMBROS LEONANGUNG EDU

Dapatkah perempuan setara dengan lelaki? Sepertinya tidak. Perempuan adalah sahabat setan. Perusak. Pembawa sial bagi lelaki. Rayuan mautnya telah menghancurkan struktur keturunan manusia secara permanen dengan makan buah terlarang. Dosa turunan, dialah ulahnya. “Kamu (perempuan) adalah gerbang setan. Kamu adalah pembuka segel pohon terlarang itu. Kamu adalah pengkhianat pertama hukum ilahi. Kamu adalah ia yang membujuknya (Adam) yang terlalu kuat untuk diserang iblis. Kamu begitu ceroboh menghancurkan laki-laki, citra Tuhan. Akibat ketidakpatuhanmu, bahkan putra Tuhan pun harus mati”, demikian kata Tertulianus (Dirks, 2004: 263).
Sejak berabad-abad perempuan dianggap rendah dan tumbal dari berbagai petaka di bumi. Perempuan adalah makhluk kelas rendah. Makhluk yang menurut Thomas Aquinas tidak seharusnya ada di dunia. Laki-laki, kata Aquinas, sudah cukup memiliki segala-galanya untuk hidup (principium activum in generatione). Laki-laki tidak sepantasnya membutuhkan perempuan, kecuali karena satu kelengkapan yang tidak dimilikinya yaitu tempat mekanisasi keberlangsungan keturunan. Kekurangan itu diisi perempuan, sehingga perempuan menjadi ada namun dibutuhkan sebatas teman atau penolong penciptaan baru (pro-creation) yang tidak wajib ada. Laki-laki sudah memiliki dalam dirinya segala yang dibutuhkan untuk kehidupan baru. Setiap tujuan benih kehidupan pada laki-laki adalah seorang laki-laki baru sebagai makhluk yang secara sempurna menunjukkan siapa itu manusia. Perempuan ada karena kekurangan pada laki-laki sebagai causa efficiens pembentukan manusia. Karena kekurangan itu sesuatu yang tidak semestinya, maka pembentukan perempuan adalah sesuatu yang tidak semestinya terjadi (Kleden, 2002: 77).
Kekerasan selalu muncul dari cara berpikir. Cara berpikir Tertulianus pada abad ke-2 merefleksikan seksisme yang kasar dan prasangka paling buruk tentang perempuan. Atau pikiran Aquinas lahir dari kesesatan metodologi yang reduksionistis karena bertitik pangkal pada observasi yang mengkorelasi pengetahuan biologi tubuh saat itu dengan realitas metafisis untuk menghasilkan suatu paham antropologi (DeCrane, 2004: 97). Jauh di atas semuanya, pandangan-pandangan bias gender dan biner patriarki itu merepresentasi kultur paternalistik yang mengental berabad-abad.
Sesat pikir tentang perempuan berurat akar sekian lama dan sudah menjadi latar (frame of reference) dari rupa-rupa problematika kekerasan sosial yang sistemik. Sesat pikir berujung pada peraguan eksistensi perempuan. Perannya dimarjinalisasi. Statusnya the second class, budak, pemuas dahaga, pelumas kota-kota modern, santapan lezat entertainment dan infotainment, objek komersialisasi dalam bisnis industri, dan penghias di balik gegap-gempita atau glamour eksotisme pariwisata.
Tulisan ini mengangkat panorama buruk tentang perempuan yang dilukiskan secara ekspresif dalam novel karya Nawal El-Saadawi, Perempuan di Titik Nol. Derita perempuan dieksplorasi dari novel karya seorang dokter Mesir, novelis, dan pembela hak-hak perempuan itu, dengan menampilkan tokoh utama Firdaus yang sedang menghitung hari pelaksanaan hukuman mati atasnya dari apa yang dituduhkan penegak hukum sebagai pembunuh. Sisi tilik feminisme pada novel ini dipakai untuk meneropong realitas subordinatif yang terus menggejala dalam praksis interelasi laki-laki dan perempuan modern.

GAMBARAN UMUM NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL

Biografi Penulis

Perempuan di Titik Nol merupakan karya Nawal El-Saadawi. El-Saadawi adalah seorang dokter bangsa Mesir. Namanya terkenal di seluruh dunia sebagai novelis dan pejuang hak-hak asasi perempuan. Ia lahir di desa Kafr Tahla di tepi Sungai Nil. Awal petualangannya dimulai sejak ia melakukan praktik dokter di daerah pedesaan, kemudian rumah-rumah sakit di Kairo, dan Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir. Tahun 1972, sebagai akibat diterbitkannya buku non-fiksi yang berjudul Women and Sex, ia dibebastugaskan dari jabatan sebagai direktur dan pemimpin redaksi majalah Health.
Semangat yang membakar jiwanya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan tidak bisa dipadamkan. Hasrat mengambil bagian dalam memikul beban sesama perempuan tidak bisa dibendung. Setelah mendapat sangsi yang sempat memangkas kebebasan intelektualnya, ia kembali berkarya dengan menerbitkan sejumlah buku tentang status, psikologi, dan seksualitas perempuan. Tetapi beberapa karyanya disensor badan sensor Mesir dan dilarang beredar di Saudi Arabia dan Lybia. The Hidden Face of Eve adalah buku pertamanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Karya-karyanya antara lain: Women and Sex, Women and Psychological Conflict (buku-buku mengenai perempuan); The Chant of the Children Circle, Two Women in Love, God Dies by the Nile, Memoirs of a Lady Doctor (novel); A Moment of Truth, Little Symphaty (cerita pendek).

Sinopsis

Perempuan di Titik Nol mengisahkan tokoh utama Firdaus sebagai perempuan yang taat pada agama dan adat-istiadat namun tersandung kasus korban eksploitasi kaum adam. Tirai kisah dibuka saat El-Saadawi, sang penulis, mengisahkan ketertarikannya terhadap seorang narapidana perempuan Mesir bernama Firdaus. Narapidana yang ditahan di penjara Qanatir itu didakwa telah membunuh seorang germo. Melalui sebuah usaha yang cukup rumit, El-Saadawi dapat bertemu Firdaus yang biasanya menolak bertemu siapa saja. Firdaus ngotot ingin dihukum mati. Ia menolak menulis permohonan untuk keringanan hukum karena berpikir dirinya tidak bersalah. Isi pertemuan mereka diungkapkan pada bagian selanjutnya di mana kisah hidup Firdaus mulai dikuak tajam dan lengkap.
Firdaus lahir dan dibesarkan dari keluarga yang miskin. Tipikal sang ayah temperamental dan pemalas. Ia hanya sibuk dengan kesenangan pribadi. Ibu dan anak-anak dibiarkan lapar. Saudara-saudara Firdaus satu persatu mati karena tidak tahan dengan perut yang terus mengeroncong. Untuk memenuhi kebutuhan makan-minum keluarga, ayah yang buruk tabiat itu memaksa Firdaus bekerja. Jika sepulang bekerja Firdaus kecil membawa makanan, ayah yang egois itu menghabiskan semua makanan di depan si isteri dan anak-anak tanpa berpikir anggota keluarganya kelaparan. Tak ada rasa sayang dialami Firdaus. Pada musim dingin yang mencekam, tempat tidur ayah digeser dekat tungku api nan hangat, sedangkan tempat tidur anak-anak “ditendang” ke pojok dekat pintu tanpa selimut, sehingga udara gurun mencekam mereka. Anak-anak berlaku bagai budak. Selalu disiksa atau dianiaya. Sementara si ibu lebih patuh pada ayah tanpa perlawanan. Di mata ayah, ibu adalah pembantu, pesuruh. Pengalaman tak berdaya itu melukai batin Firdaus pada kedua orangtuanya. Firdaus memiliki teman bermain, Muhammadain, yang sedikitnya dapat menghibur hatinya yang gunda. Dengan teman sepermainannya itu, Firdaus merasakan pengalaman seksual pertama kali.
Ketika keinginan akan kasih sayang dan perhatian terkikis habis, hadirlah sosok paman berpenampilan alim dan religius. Paman adalah seorang agamawan yang patuh dan taat pada perintah agama. Dia menganggap Firdaus layaknya anak kandung..
Sebagai anak kecil, Firdaus rindu bersekolah. Atas kebaikan sang paman, Firdaus menikmati keindahan dunia pendidikan. Sayang sekali, seiring waktu berlalu nafsu bejak paman saleh itu merengkuh martabat dirinya. Firdaus dipaksa melayani keinginan seksual paman. Ketika si paman memperoleh jabatan pada suatu kementerian wakaf dan menikah dengan puteri gurunya di El-Ashar, paman bersama isteri dan Firdaus berpindah ke sana. Firdaus melanjutkan sekolah di El-Ashar. Suatu hari paman bertengkar dengan isterinya tentang masalah Firdaus, entah apa alasannya, yang membuat Firdaus dititipkan di asrama putri di tempat ia bersekolah. Tiga tahun berselang Firdaus lulus dengan prestasi yang sangat baik. Ia kemudian hidup bersama paman.
Selama kebersamaan itu Firdaus sangat patuh terhadap segala perintah dan petuah paman. Tetapi isteri paman tidak suka dengan Firdaus, sehingga mereka menjodohkan Firdaus dengan  Syeikh Mahmoud, seorang duda berusia enam puluhan tahun, dengan bisul di dagunya yang selalu mengeluarkan aroma busuk. Tidak ada pilihan lain bagi Firdaus, ia hanya manggut-manggut pada mereka yang sudah berjasa itu.
Pernikahan dengan Syeikh sama sekali tidak bahagia. Roda perkawinan selalu dihantui aksi-aksi kekerasan dalam banyak hal yang menimbulkan luka batinnya makin menganga. Firdaus sering dipukul hingga berdarah-darah lantaran masalah sepele. Ini akibat karena perkawinan mereka tidak didasari cinta melainkan hasil “jual-beli” dengan harga seratus pon. Paman dan bibi coba mengambil untung dari keinginan Syeikh, si kaya dan pelit, untuk mendapatkan isteri. Penganiayaan sang suami yang dialami Firdaus bertubi-tubi berujung pelarian dari rumah.
Dalam perjalanan berderai air mata tanpa arah itu, tampillah beberapa figur yang mengangkat Firdaus dari jeritan panjang. Mula-mula Firdaus berpapasan dengan Bayoumi, seorang pemilik warung yanag berbaik hati. Tinggallah Firdaus di tempat Bayoumi. Firdaus diberi jaminan makan dan minum. Cinta keduanya mulai bersemi seiring kebersamaan mereka. Bayoumi tampak bukan orang yang kasar. Tidak terlihat tanda-tanda ia melakukan kekerasan. Keadaan berubah pada suatu hari. Bayoumi memukulinya sekeras mungkin pada wajah dan perut hingga Firdaus tak sadarkan diri. Ambruk. Pingsan. Siapa sangka serigala berbulu domba. Bayoumi melakukan kebejatan terhadap Firdaus. Setiap malam Bayoumi ‘menindih’-nya. Firdaus terpejam diam tanpa kata, tanpa bisa merasakan apa-apa kejadian pahit itu. Teman-teman Bayoumi pun turut melancarkan aksi bejatnya. Suatu hari lewat kisi-kisi pintu, tetangga melihat FIrdaus dan menolongnya. Atas bantuan tetangga, Firdaus berhasil melarikan diri dari kungkungan Bayoumi.
Dalam meniti hidup yang tak pasti, Firdaus secara tak sengaja bertemu Sharifa, sosok perempuan penyayang dan perhatian. Firdaus tinggal dalam jaminan hidup yang aman, seperti kamar yang wangi, kasur yang empuk, dan pakaian yang indah. Juga, para lelaki yang datang secara bergantian, yang “kuku-kukunya pun bersih dan putih, tidak seperti kuku Bayoumi, yang hitam seperti gelapnya malam, juga tidak seperti kuku Paman dengan tanah di bawah ujung kukunya’. Sharifa mengajarinya banyak hal, salah satunya tentang apa artinya perempuan di mata lelaki. “Kau gagal memberi nilai yang cukup tinggi untuk dirimu. Lelaki tidak tahu nilai seorang perempuan, Firdaus. Perempuan itu sendirilah yang menentukan nilai dirinya. Semakin tinggi kau menaruh harga dirimu, semakin dia (lelaki) menyadari hargamu itu sebenarnya”.
Kata-kata itu menuntun Firdaus pada jalan hidupnya kemudian. Tidak ada dalam bayangan Firdaus bahwa Sarifah seorang germo yang memiliki sindikat rapi dalam bisnis prostitusi. Cara-cara licik Sharifa terus memperdaya Firdaus. Firdaus seperti terkatup mulutnya untuk berkata-kata memberi perlawanan. Bahkan ketika Fawzi ingin menikahi Firdaus, Sharifa menolak mentah-mentah. Apa motifnya? Firdaus tidak sadar bahwa dirinya telah dimanfaatkan Sharifa untuk menghasilkan uang.
Seorang laki-laki memasuki kamarnya dan menyadarkan perbuatannya. Atas hasutan dari laki-laki itu, Firdaus berhasil kabur dari rumah Sharifa. Suatu ketika ia berpapasan dengan beberapa laki-laki yang ingin menikmati kesenangan. Tetapi ada seseorang yang memberinya lebih dari cukup. Pengalaman ini menjadi awal untuk memasang harga tinggi bagi para pelanggan sekaligus mengantarnya pada status sebagai pelacur sukses, yang memiliki sebuah apartemen, seorang koki, seorang manajer, rekening bank yang terus bertambah, waktu senggang untuk bersantai atau jalan-jalan, serta kawan-kawan yang ia pilih sendiri. Ia membangun apartemen dan perpustakaan untuk dirinya sendiri. Di apartemen dan perpustakaan itu ia bertemu Di’aa, seorang jurnalis yang mengkritisi dunia Firdaus yang kotor dan terlarang. 
Kritikan Di’aa diterima. Bermodalkan ijazah SMA, Firdaus berani meninggalkan harga kekayaan. Ia kemudian tinggal di sebuah pondok mungil kumuh, dan bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji amat kecil. Di perusahaan tempat ia bekerja, terjadi kesenjangan yang lebar antara karyawan berpangkat tinggi dan karyawan rendahan. Banyak karyawati yang merelakan tubuh mereka pada para atasan agar lekas naik pangkat atau agar tidak dikeluarkan. Namun Firdaus tidak akan menghargai dirinya semurah itu, terlebih karena pengalamannya yang biasa dibayar dengan harga sangat mahal. Tidak seorang pun di perusahaan itu yang bisa menyentuhnya.
Keinginannya kuat. Tidak boleh lagi jatuh ke lembah yang sama. Ia ingin menjadi manusia normal, perempuan biasa yang mencintai. Di tempat bekerja itu ia bertemu seorang revolusioner yang memperjuangkan nasib para karyawan rendahan, namanya Ibrahim. Cinta mereka bersemi, bahkan sempat “tidur bersama”. Maksud hati memeluk gunung, cintanya kandas di tengah jalan. Ibrahim diketahui telah bertunangan dengan puteri presiden direktur.
Firdaus patah hati. Sudah jatuh tertimpa tangga. Ia merasa tidak ada lagi yang peduli dengan dirinya. Ia kembali ke dunia gelap dengan memasang tarif yang tinggi bagi siapa saja yang mau menikmati tubuhnya. Ia jadi pelacur yang bebas tanpa kontrol dan intimidasi. Dalam lubuk hatinya ia ingin menjadi pelacur sukses. Sebab, “Seorang pelacur yang sukses lebih baik dari seorang suci yang sesat”, prinsipnya. “Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh terlalu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.” Pada pelarian terakhir ia menempuh kehidupan gelap di lorong-lorong kota hingga akhirnya ia membunuh seorang germo, Marzouk, yang membuatnya dijebloskan ke penjara untuk dihukum mati.

Karakter para Tokoh

Firdaus
Pelaku utama, sosok perempuan tegar dan kuat di tengah rentetan trauma kekerasan yang menimpahnya
Ayah Firdaus
Seorang yang hanya mementingkan diri sendiri
Ibu Firdaus
Penurut, tidak berdaya di hadapan suami, seorang ibu yang lebih suka melayani suami ketimbang memperhatikan anak-anak
Paman Firdaus
Seseorang agamawan yang alim dan “sok” dekat dengan Firdaus. Di balik kata-kata salehnya ia seorang penjilat yang ingin mengganti-rugi biaya sekolah Firdaus dengan servis seks terhadap dirinya
Bibi Firdaus
Isteri paman yang tamak dan materialis; dialah yang membujuk si paman untuk menjodohkan Firdaus dengan Syeikh Mahmoud
Syeikh Mahmoud
Suami Firdaus berwajah otoriter, pelit, berhawa nafsu tinggi. Cinta baginya adalah bermain seks
Muhammadain
Teman sepermainan masa kecil Firdaus
Sarifah
Perempuan yang menyelamatkan Firdaus dari jeratan pelecehan. Ternyata Sarifah seorang germo yang menggiring Firdaus menjadi pelacur
Bayoumi
Pemilik warung yang berpura-pura menolong Firdaus tetapi akhirnya merenggut tubuh Firdaus dan menjajakannya kepada para pengunjung warung
Di’aa
Wartawan dan penulis yang menyadarkan Firdaus akan dunianya
Nona Iqbal
Perempuan yang memahami Firdaus dan yang mendampingi Firdaus ketika berada di asrama
Ibrahim
Tokoh revolusioner yang tidak kalah kurang ajarnya karena mempermainkan cinta Firdaus
Marzouk
Germo yang dibunuh Firdaus karena hendak merampas kebebasannya

Alur
Novel Perempuan di Titik Nol menggunakan alur maju-mundur. Kisah bertolak dari situasi Firdaus dipenjara untuk menunggu eksekusi mati. Dari titik situasi ini kisah direntang secara flashback ke pengalaman-pengalaman awal pada masa kecil. Kisah-kisah sejak masa kecil yang penuh derita hingga ditelantarkan pada masa dewasa memberikan suatu perspektif bagaimana ia membunuh orang hingga akhirnya ia dilemparkan ke bilik penjara untuk dieksekusi. Tetapi ada kalanya kisah mengalami bolak-balik pada peristiwa di masa kecil dan saat dewasa.

KEKERASAN DALAM NOVEL “PEREMPUAN DI TITIK NOL”

Keluarga dalam Rumah Tangga

            Kekerasan dalam rumah tangga meliputi beberapa bentuk, yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran. Hal ini terlihat jelas dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKRT) Nomor 23 Tahun 2004 (Komnas Perempuan, 24-26).

Kekerasan fisik
Kekerasan seksual
Kekerasan seksual
Penelantaran
Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, luka berat (psl. 6)
Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang (psl. 7)
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (psl. 8)
Tindakan mengabaikan tanggung jawab untuk memberikan kehidupan,, perawatan, atau pemeliharaan orang yang berada dalam tanggung jawabnya (psl. 9), tindakan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (psl. 10)

Seturut pengalaman Firdaus, keluarga bukan tempat yang tepat untuk mendapat hak kasih sayang sebagai anak. Anak yang dibesarkan tanpa kasih. Kasih sayang tidak ia dapatkan dari kedua orangtua. Kebebasannya sebagai anak dipasung. Haknya dikerdilkan. Pengalaman masa kecil mengantarnya pada pemahaman tentang situasi keluarga dan peran ibu yang harus “setia” pada raja bernama ayah. Ia melihat ibunda pada malam hari selalu membasuh kaki sang ayah sebelum tidur. Suatu kewajiban yang diemban oleh ibu rumah tangga (Saadawi, 2003: 24-26).
Dominasi yang eksploitatif terhadap ibu dan Firdaus kecil menyata dalam rentetan aksi kekerasan yang dilakoni sang ayah. Anak-anak sering dipukul tanpa alasan yang jelas. Ibunda hanya terpaku diam melihat watak ayah yang kejam dan bengis. Perlakuan terhadap ibu tidak lebih baik dari anak-anak. Menerima perlakuan kasar sudah jadi menu hariannya. Saat ibu dan anak-anak menderita rasa lapar karena beberapa hari tidak makan apa pun, ayah yang egois itu melahap habis makanan yang dibawa Firdaus di depan dirinya dan ibunda. Betapa keji sang ayah membiarkan anggota keluarganya sakit. Firdaus benci pada ayah dan ibunya yang dingin dan “setia”.

“Saya berdiri di depan cermin itu dan memandang wajah saya. Siapakah saya? Firdaus .... Hidung bulat saya peroleh dari ayah dan mulut bibir tipis saya dari ibu. Suatu perasaan tertekan menguasai tubuh saya. Saya tidak senang melihat bentuk hidung maupun bentuk mulut saya .... Hati saya dipenuhi rasa benci yang mendalam pada cermin itu” (Sadaawi, 2003: 28-29).

Firdaus benci pada tubuhnya, dirinya, lantaran mendapat warisan genetis yang termanifestasi dalam karakteristik fisiologis mirip orangtua. “Saya tidak senang melihat bentuk hidung maupun bentuk mulut saya”. Ia benci hidung besar mirip ayah dan bibir tipis hasil fotokopi bibir ibu. Benci hidung dan mulut berarti benci dirinya sendiri. Benci diri berarti bersedia terasing dari diri sendiri. Ia mengungkung diri di dalam dirinya sendiri. Sepi. Anomali. Yang tersisa cuma derai air mata meratapi kenangan pahit.
Rumah tangga kedua Firdaus adalah perkawinannya bersama Syeikh Mahmoud, suaminya. Perkawinan adalah “lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum perempuan” (Saadawi, 2003: 26). Kesan ini bukan suatu sikap apologetis melainkan lahir dari fakta. Saadawi sang penulis ingin menceritakan sepucuk kisah yang dialami isteri Syeikh Mahmoud itu. Firdaus membentangkan suatu gambaran anarki terselubung dalam aras relasi suami-isteri. Perkawinan adalah suatu upaya legalisasi formal yuridis atas kekerasan yang dilakukan Syeikh terhadap Firdaus. Kekerasan terhadap isteri di bawah atap rumah tangga adalah wajar, dan kesalahan selalu dilimpahkan kepada si isteri.
Hidup bersama Syeikh tidak lain daripada pembelengguan untuk menumbuhkan kepatuhan Firdaus terhadapnya. Kekerasan terhadap si isteri sangat pahit namun tersembunyi rapi di dalam atap institusi perkawinan. Setiap bentuk pengungkapan dan pemberontakan isteri pasti didiamkan. Hal ini dialami Firdaus. Rumah tangganya hampa total berujung hancur. Syeikh adalah corong suami duda tua bermuka buruk penuh borok yang membangun pilar-pilar rumah tangga di atas iming-iming uang. Cinta disogok dengan seonggok harta. Ia menyangka kekayaannya dapat menggaet hati Firdaus. Firdaus yang lahir dari keluarga sulit dan sangat miskin dikira takluk pada lelaki matre. Ternyata cinta yang dibalut materi berubah menjadi sarang kekerasan. Syeikh yang sudah memberi “”mahar” kepada paman dan bibi seolah-olah memiliki Firdaus untuk dimanipulasinya sesuka hati.
Sublimasi depresi pada masa kecil karena dianiaya dan ditelantarkan orangtua, bertambah parah setelah bersuami. Rumah tangganya tidak dipandang sebagai “home”, melainkan sebatas ruang material (house) tempat dua individu suami-isteri berlain hati. Hanya air mata berderai yang menetes dari pelupuknya adalah satu-satunya bahasa pasrah yang paling bisa dimengerti sebagai seorang isteri.
Perkawinan juga suatu ajang bagi keluarga besar Firdaus untuk melakukan semacam “komersialisasi”. Paman dan isterinya adalah orang tua yang menggantikan ayah-ibunya. Isteri paman yang gila harta merusak perkawinan Firdaus. Dasar perkawinan Firdaus bukan cinta, melainkan motivasi finansial antara Syeikh dengan paman dan bibi yang ingin kaya. Kebersamaan tanpa fondasi kasih sayang membuat Firdaus mengemban tugas sebagai isteri dalam keadaan tertekan. Termasuk tekanan paling ngeri adalah menerima nafsu birahi suami tanpa kasih.

Pada waktu malam dia (suami) akan melingkarkan kakinya dan memeluk tubuh saya, dan lengannya yang berkenyal-kenyal dan sudah tua itu menggerayangi seluruh tubuh saya seperti kuku-kuku seorang lelaki yang hampir mati kelaparan karena tidak memperoleh mkanan selama bertahun-tahun dan menghabiskan semangkuk makanan tanpa meninggalkan sebutir pun sisa makanan (Sadaawi, 2003: 61).

Firdaus adalah simbol objek komodifikasi untuk menguntungkan pihak pemilik anak perempuan, simbol dominasi lelaki dalam lingkup rumah tangga dan komunikasi yang terdistorsi suami-isteri. Perkawinan Firdaus tidak lain daripada lingkaran setan di mana sang suami memandang dia seperti budak. Perkawinan tidak lain daripada sebentuk pelembagaan untuk membungkam dan menindas anak-anak dan perempuan. “Seorang isteri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajibannya adalah kepatuhan yang sempurna” (Sadaawi, 2003: 61).

Kekerasan dalam Masyarakat dan Pembiaran Negara

Laporan Paripurna Pelapor Khusus PBB mengenai kekerasan terhadap perempuan menyebutkan beberapa jenis kekerasan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan kekerasan yang dilakukan oleh negara (Komnas Perempuan, 26-29).


Kekerasan dalam lembaga-lembaga masyarakat
Kekerasan oleh negara
Perkosaan (art. 172),
Kekerasan seksual (art. 190),
Prostitusi dan perdagangan perempuan (190)
Kekerasan penahanan terhadap perempuan (art. 248),
Kekerasan terhadap perempuan dalam situasi atau wilayah konflik (art. 161),
Kekerasan pengungsi dan perempuan yang mengalami dislokasi (art 293-294)


Saat Firdaus mengingkari keluarga dan rumah tangga perkawinannya, siapakah yang dapat menolong Firdaus? Dari pengalaman Firdaus, para lelaki cenderung kasar. Banalitas para lelaki yang liar tampak dalam berbagai bentuk, entah kata atau laku. Pikiran lelaki dililiti fantasi seksual ketika memandang perempuan. Kehormatan perempuan menjadi begitu mudah dipikirkan dari kaca mata lelaki sebagai pemuas dahaga. Kaum lelaki telah menciptakan dalam dirinya konsep subordinatif tentang perempuan yang dipaksakan dan “dibiasakan” untuk memandang perempuan seperti itu.
Rentetan watak otoriter ayah dan perilaku binal Syeikh, diikuti kejadian-kejadian di alam terbuka seperti dunia bisnis, politik dan hukum. Para lelaki yang menikmati lekak-lekuk tubuh Firdaus justeru mempersalahkan Firdaus di mata hukum. Marzouk yang mengancamnya membuat Firdaus berniat untuk melaporkan kepada polisi, tetapi Marzouk adalah orang yang memiliki hubungan baik dengan polisi, dan hukum mempersalahkan Firdaus pelacur. Niatnya lumpuh total untuk menempuh prosedur hukum. Tidak ada tempat yang aman. Hukum positif sebagai sandaran terakhir tidak dapat diharapkan. Hukum berpihak pada laki-laki karena diciptakan dari ide atau konsep para lelaki yang dipakai untuk melindungi dirinya sendiri. Ketika dokter penjara memohon grasi pengurangan masa tahanan atas hukumannya, Firdaus malah menolak dengan alasan bahwa ia ingin menikmati kebebasan sejati. Ia ingin menerima tindakan yang memberi basis argumentasi yang tepat bahwa ia pantas menerima hukuman mati karena dengan itu ia merasa tidak bersalah. Firdaus adalah simbolisme ketakberdayaan perempuan yang tidak sanggup melawan kekuasaan lelaki. Ketakberdayaan yang melingkarnya dari berbagai sisi. Pemerintah justeru bungkam. Perempuan tidak hanya menderita tetapi juga dibiarkan terus menderita oleh negara. Inilah suatu kejahatan lain yang dilakukan dari luar. Kejahatan negara tidak hanya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan tetapi juga membiarkan sesuatu yang jahat terjadi begitu saja.


RELEVANSI UNTUK KONTEKS KEKINIAN

Eksploitasi Anak
Firdaus dapat dibaca dalam terang simbolisme anak-anak yang terasing dari rumah. Anak-anak yang bertumbuh tanpa isi perut dan perasaan hati yang memadai. Firdaus adalah anak modern yang tereksploitasi. Bukan tidak mungkin cerita dengan setting dunia Timur Tengah itu relevan untuk konteks anak-anak di Indonesia. Firdaus, anak yang terbudak orangtuanya, juga dialami anak-anak seusianya di negeri kita.
Dewasa ini anak-anak sering disandera perbudakan versi-versi baru. Mereka terasing dari rumah. Mereka dipaksa orangtua untuk mencari sesuap nasi bagi para ayah yang malas dan tidak kreatif. Mereka juga adalah korban kerakusan sistem-sistem ekonomi politik kapitalis yang ganas. Seperti Firdaus kecil, anak-anak modern rentan stres. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menemukan bahwa anak-anak modern gampang terjebak dalam perdagangan untuk dipekerjakan dalam bisnis pelacuran dan pornografi, pengemis, pembantu rumah tangga, perdagangan narkoba, dan jenis-jenis pekerjaan eksploitatif misalnya bekerja di jermal. Lingkungan anak tidak lagi ramah. Anak-anak dibayangi ketakutan dan pesimisme lantaran sejak dini mereka mengalami perbudakan. Seperti Firdaus, pesona erotisme seksual menggoda anak-anak untuk dijadikan permainan para pelanggan. Hull dkk menemukan bahwa anak-anak secara tradisional sudah masuk ke industri seks sejak usia sangat muda. Layanan seks begitu mudah ditemukan di lokalisasi, perumahan, hotel, bar, restoran, salon kecantikan, dan sebagainya. 30% pekerja seks di Indonesia, seperti dikatan Farid, masih berusia di bawah 18 tahun (Irwanto, dkk. 2001: 29-30).
Seperti Firdaus di usia kecil, banyak anak terlantar dan harus menderita dini dalam mempertahankan hidupnya. Kisah tragis yang menimpa si anak jalanan, lagu sendu dari bibir kering si pengamen di dalam bis-bis kota, kata-kata memelas yang merintih pilu dari si pengemis di setiap sudut jalan dan pintu-pintu rumah kita, adalah potret nyata rendahnya respek terhadap anak-anak (Nelwan, 2011).

Redefinisi Status Kepala Keluarga

Otoritas kepala keluarga sering dipakai sebagai instrumen kekuasaan untuk memenuhi ego pribadi. Dalam budaya partriaki, kata-kata kepala keluarga yang keluar dari mulutnya ibarat titisan dewa. Perintahnya tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, kaki dan tangan adalah ikutannya. Ia adalah raja di istana keluarganya. Ia merasa paling berkuasa ketimbang isteri dan anak-anak. Ia membuat aturan sendiri tetapi gampang tersinggung dan tidak tahan kritikan. Bila ia melanggar aturan, ia tidak mau disalahkan. Keluarga dan perkawinan adalah kantong-kantong kekerasan.
Pada masa kini Ada desakan bahwa bukan zamannya lagi mempertahankan otoritarianisme kepala keluarga terhadap isteri dan anak-anak. Monopoli kekuasaan laki-laki harus berakhir. Perempuan telah merasa merdeka dari penjara domestifikasi. Pemberontakan Firdaus untuk menentukan diri sendiri tampak dalam kultur liberalisasi di era kini dengan apa yang disebut Anthony Giddens sebagai “seksualitas plastis” (plastic sexuality) yakni sejenis “seksualitas tak terpusat” (decentred sexuality) yang terbebas dari kebutuhan reproduksi. Orientasi perkawinan pada relasi ekonomis, seperti diderita Firdaus yang dianut masyarakat tradisional, telah diganti oleh perasaan suka sama suka. Perkawinan begitu gampang. Asalkan si laki-laki menyatakan cintanya dan perempuan menganggukkan kepala, maka jadilah persatuan mereka. Rumah tangga dibangun di atas keintiman dan komunikasi emosional dua belah pihak. Dengan fenomena ini, Giddens mensinyalir adanya “transformasi keintiman” di mana keintiman dilihat sebagai negosiasi transaksional dari ikatan-ikatan personal oleh orang-orang yang setara. Transfromasi ini memungkinkan adanya demokratisasi di ruang paling intim tersebut (Munti, 2005: 32-33).
Kesetaraan suami-isteri tidak boleh sebatas jargon yang didengungkan tanpa konteks, melainkan harus menggema pada arah yang paling dasar, yakni keluarga dan perkawinan. Filsuf Amerika, Tocqueville, mendorong keluarga-keluarga untuk melakukan transformasi kultural dari pola patriarkis-aristokrat, di mana bapak keluarga berstatus sebagai raja di singgasana kerajaan rumah tangganya, sedangkan anak-anak dan isteri adalah bawahan-bawahannya, kepada pola demokratis. Struktur hierarki patriarkis-aristokrat yang membentuk konsep diri bapak kepala keluarga sebagai raja superior harus ditinggalkan untuk membentuk keluarga yang sehat (Janara, 2002: 164).
Jadi, otoritas tertinggi tidak lagi melekat dalam diri pribadi kepala keluarga. Di sini terbesit harapan, kepala keluarga harus ikhlas melepaskan kekuasaan tertinggi dan absolut pada dirinya yang sejak lama diberlakukan secara sepihak dan dianggap benar oleh dirinya sendiri. Dalam sistem demokratis, kepala keluarga adalah koordinator keluarga. Perannya sebatas manajerial dalam tata kelola rumah tangga, tetapi bukan legitimasi status sebagai penguasa. Ia simpul lalu lintas informasi yang mengarahkan berbagai aktivitas keluarga sedemikian rupa sehingga rencana-rencana dan tujuan-tujuan keluarga yang sebelumnya telah disepakati bersama dapat tercapai secara efisien dan efektif (Nelwan, 2011).
Hubungan yang baik bebas dari kekuasaan sewenang-wenang, kekerasan, dan penindasan. Mengikuti gagasan Giddens, keluarga-keluarga harus menerapkan “demokrasi emosi” dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan emosional (cinta) yang melandasi bangunan keluarga harus berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi seperti kesetaraan, keadilan, dan persamaan hak (Giddens, 2003: 61). Keluarga adalah sumber nilai, keutamaan, dan cinta yang melahirkan harmoni dan persaudaraan. Orangtua kita adalah pekerja kebunnya yang menyirami tanaman :bernama anak-anak dengan air kasih sayang (Rodriguez, 2009: 22).
Minimalisai Kekerasan dalam Masyarakat
Liberalisasi dan globalisasi memberikan angin segar bagi perempuan untuk mengambil bagian dalam kehidupan publik. Di Indonesia napas kebebasan mulai dirasakan setelah rezim otoriter Soeharto tumbang dari kekuasaannya. Bukan hanya pihak minoritas yang mendapat kesempatan, perempuan juga menikmati kebebasan. Tidak sedikit perempuan yang menjadi politisi, penegak hukum, dan penguasaha. Tidak sedikit perempuan yang memperoleh kualifikasi pendidikan tertinggi. Spirit demokratisasi pasca rezim totaliter itu dirasakan secara luas.
Akan tetapi, kebebasan itu bukan tanpa cacat bagi perempuan. Obsesi modernisasi memicu adanya pertumbuhan ekonomi dan kehadiran kota-kota industri baru yang menarik tenaga-tenaga kerja begitu banyak dengan upah murah. Industrialisme meningkatkan ketergantungan orang-orang pada penghasilan, sementara budaya konsumsi rumah tangga makin tinggi. Stres ekonomi rumah tangga membuat anak-anak dan para isteri harus mencari pekerjaan untuk menambah penghasilan suami. Pemandangan dunia kerja tidak selalu elok. Eksploitasi tenaga kerja menjadi pemandangan umum. Upah murah, tidak ada jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, pemutusan kerja sepihak terhadap pekerja yang tidak produktif, adalah praktik-praktik yang sudah lumrah. Media-media massa membidik perempuan sebagai target sasaran tembak. Media-media sering terjebak dalam logika pasar. Iklan-iklan merekrut mereka yang cantik untuk melakukan promosi dan menciptakan sentimen positif atas produk. Perempuan, uang, dan produk adalah tiga bersaudara dalam logika dan imajinasi media.
Kita juga menghadapi jenis-jenis kekerasan baru seperti cyber-crime, yang tidak dilakukan secara terang benderang melainkan melalui suatu sistem anonim oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan (invisible hands), meminjam istilah Adam Smith, yang jahil dan tanpa bersalah. Oleh karena itu, globalisasi tidak menghilangkan kekerasan-kekerasan lama yakni eksploitasi laki-laki terhadap perempuan. Barangkali yang harus dipikirkan adalah penguatan fungsi negara. Negara harus kuat untuk mengendalikan harmonisasi sosial dan egalitas gender.

Penutup

Masalah perempuan sudah lama menjadi perhatian serius dunia internasional. Berbagai konferensi internasional sudah diselenggarakan. Di Meksiko tahun 1975; di Kopenhagen, Denmark, tahun 1980; kemudian konferensi di Nairobi Kenya tahun 1985; konferensi Beijing tahun 1995 (Sadli, 2010: 35).
Cerita Firdaus yang diangkat dari novel Perempuan di Titik Nol hanyalah satu perspektif dari rintihan pada perempuan global yang mengalami penindasan. mengisahkan tragedi pilu yang dialami perempuan bernama Firdaus. Firdaus adalah anak perempuan, ibu rumah tangga, dan  isteri yang dikorbankan kekuasaan laki-laki. Saya menyadari bahwa sepatutnya tulisan ini harus berasal dari imajinasi dan pemikiran orisinal kaum peremuan, bukan dari sudut pandang saya sebagai laki-laki.
Menempatkan posisi sebagai perempuan tidaklah masuk akal. Saya sendiri pun adalah laki-laki yang dibesarkan dari budaya patriarki, dan bersifat manis terhadap perempuan dari pemikiran lelaki saya sebagai penguasa yang saya tuduhkah dalam tulisan ini, harus dikritisi. Tetapi ide-ide para lelaki juga telah banyak beredar untuk membantu proses emansipasi. Kiranya laki-laki dan perempuan adalah mitra sederajat, seperti yang direncanakan Tuhan di awal penciptaan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan sesuatu yang nyata dan makin sering terjadi di dunia modern ini. Populasi yang kian padat menciptakan kompetisi ketat, di mana perempuan sering dijadikan kelompok rentan menerima akibat kompetisi global yang tidak sehat. Untuk itu, dibutuhkan suatu empati yang meluas tentang bagaimana laki-laki dan perempuan harus berada bersama.





Daftar Pustaka

Sumber utama

El-Sadaawi, Nawal. 2003. Perempuan di Titik Nol. Terj. Amir Sutaarga Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sumber penunjang

DeCrane, Susanne M. 2004. Aquinas, Feminism and the Common Good.  Washington DC: Georgetown University Press.
Dirks, Jerald F. 2004. Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seru Antara Islam, Kristen dan Yahudi. Jakarta: Serambi.
Giddens, Anthony. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, terj. Andry Kristiawan S dan Yustina Koen S, Jakarta: Gramedia, 2003.
Irwanto, dkk. 2001. Perdagangan Anak di Indonesia. Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional.

Janara, Laura. 2002. Democracy Growing Up: Authority, Autonomy, and Passion in Tocqueville’s Democracy in America, Albany: State University of New York Press.

Komnas Perempuan. [tanpa tahun]. Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon Katolik). Jakarta: Komnas HAM.

Kleden, Paul Budi. 2002. “Thomas Aquinas tentang Perempuan”, VOX, seri/46/4/2002.

Munti, Ratna Batara. 2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Digital. Yogyakarta: LkiS.

Rodriguez, Richard T. 2009. Next of Kin: The Family in Chicano/a Cultural Politics, USA:           Duke University Press.

Saparinah Sadli. 2010. Berbeda tapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
                                                                               
Internet
Zian Armie Wahyufi, Review Perempuan di Titik Nol Novel“, dalam http://zianarmie. blogspot. co.id/2014/05/review-perempuan-di-titik-nol-novel.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar