Rabu, 21 Desember 2011

“PEREMPUAN DI TITIK NOL” DI ERA PASAR BEBAS

Penulis: Ambros Leonangung Edu
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, NTT



“Perempuan di Titik Nol” adalah judul sebuah novel karya Nawal El-Saadawi, seorang dokter Mesir, novelis, dan pembela hak-hak perempuan [Lih. edisi Indonesia diterjemahkan Amir Sutaarga, Jakarta: OBOR, 2003] Novel ini menampilkan tokoh utama Firdaus yang sedang menghitung hari pelaksanaan hukuman mati atasnya dari apa yang dituduhkan para pejabat negara sebagai pembunuh dan pengkhianat negara.

Dikisahkan, Firdaus hidup di dalam budaya patriarkat. Bayang-bayang patriarki ini berawal dari keluarga. Sejak kecil, sang ayah memaksa dia bekerja demi mempertahankan kelangsungan hidup keluarga. Tetapi, jika Firdaus tidak membawa makanan, sang ayah meminta kepada ibu, lalu ayah yang buruk tabiat itu menghabiskan semua makanan itu di depan mereka. Begitulah pengalaman tiap hari, belum termasuk penyiksaan dan membiarkan Firdaus tidur di malam hari dalam kedinginan. Pengalaman pahit ini menumbuhkan kebencian mendalam pada orangtuanya.

Ketika Firdaus dilarikan dari rumah orang tuanya, ia mengalami kebejatan lelaki bertubi-tubi.. Paman yang awalnya prihatin dan menyelamatkan Firdaus dari kekangan orang tuanya, kemudian memperkosanya; Syeikh Mahmoud, suami hasil kawin paksaan paman demi uang, sering menganiaya Firdaus dalam rumah tangga; Bayoumi, penjaga warung yang membantu Firdaus melarikan diri rumah suaminya, juga pada akhirnya melakukan  pelecehan seksual; dan Sarifah yang membantu Firdaus dari kejaran Bayoumi, ternyata adalah germo bersindikat rapi dalam dunia pelacuran yang memanfaatkan Firdaus untuk “menghasilkan uang”. Setelah melarikan diri, Firdaus pun mengalami pemerkosaan yang sama dari beberapa orang laki-laki.

Dari sinilah Firdaus menjalani hidup sebagai pelacur. Cita-citanya adalah menjadi pelacur yang sukses. Baginya, pelacur yang sukses lebih mulia daripada seorang lelaki suci yang sesat. Namun, karena membunuh seorang germo, Marzouk, demi mempertahankan dirinya dan membangkang pejabat negara, ia pun dihukum mati. Dari balik jeruji besi itulah ia tahu bahwa perempuan cumalah perangsang bagi hidup lelaki, pelancar urusan bisnis, dan penenang diplomasi antar negara.  

Firdaus: Simbolisme Kekuasaan Lelaki

Siapakah yang dapat menolong Firdaus? Baginya, semua lelaki sama saja. Pikiran lelaki dililiti fantasi seksual ketika memandang perempuan. Kehormatan perempuan menjadi begitu mudah dipikirkan dari kaca mata lelaki sebagai pemuas dahaga. Firdaus adalah simbolisme ketakberdayaan perempuan yang tidak sanggup melawan kekuasaan lelaki. Kaum lelaki telah menciptakan dalam dirinya sendiri konsep subordinatif tentang perempuan yang lalu dipaksakan dan “dibiasakan” untuk memandang perempuan seperti itu. Jadi, ia bukan hasil konsensus suatu peradaban atau bukan pula “keterlemparan”, meminjam kata Martin Heiddegger, yang mau tidak mau harus diterima walaupun ia tidak kehendaki.

Diskriminasi perempuan mengakar pada mentalitas personal dan struktural. Hukum, budaya, pemerintah bahkan keluarga pun mendukung diskriminasi ini. Seturut Firdaus, status sebagai suami tidak lebih dari bahasa sosial yang menjadikan institusi perkawinan sebagai legitimasi penindasan dan pembungkaman perempuan.

Maka, untuk membebaskan masalah ini orang mesti melihat akarnya; sampai di mana masalah itu berpengaruh, dan apakah perempuan - karena sudah menyejarah - merasa bahwa penindasan memang hal yang seharusnya pada perempuan? Perjuangan menang sudah dimulai sejak lama dengan berbagai cara untuk menembus akar struktural yang kuat, tetapi masalah itu akan selalu merubah bentuk yang lain. Kita melihat Firdaus menangis sendirian dan tidur dalam kedinginan. Ke mana pun diskriminasi sudah sistemik-struktural. Kini, perempuan memasuki “keluarga baru”, iklim pasar bebas, yang mendefisinikan perempuan secara lain. Persoalan lama belum tersentuh, tiba-tiba perempuan memasuki era pasar bebas.

Firdaus: Teriakan Perempuan di Era Pasar Bebas.

Firdaus dipaksa ayahnya bekerja. Bekerja membuat dia melupakan diri demi “target profit” dari si ayah yang sedang menanti hasil di rumah. Ayahnya cuma tahu “hasilnya”, tak peduli proses bahwa di luar sana terdapat iklim “kompetisi” entah siapa yang lebih produktif. Dan keluarga adalah konteks yang tersituasi oleh siapa yang paling berkuasa, dalam hal ini ayah. Zaman sekarang konteks “tersituasi” ini menjadikan perempuan keluar dari rumah. Ukuran kesejahteraan keluarga dilihat dari seberapa besar kekayaan yang ia punyai. Kasih sayang. Kesuburan, perhatian kepada anak sering dikaitkan dengan pertimbangan ekonomi. Ketika perempuan keluar dari rumah dan bersaing di dunia kerja, ia dihadapkan dengan iklim kompetisi yang menuntut hasil maksimal. Hakekat keluarga sebagai komunitas kasih dan eksistensi perempuan menjadi kurus dan kerdil, karena ia direduksi ke dinamika ekonomi. Iklim pasar dunia yang menggarisbawahi liberalisasi dan deregulasi menempatkan kaum ibu, kaum perempuan sebagai tenaga kerja.

Apakah dengan keterlibatan perempuan ke sektor kerja, wacana penindasan perempuan hilang atau setidaknya diabaikan? Sampai pada titik ini, pengakuan untuk diperlakukan secara sama terhadap perempuan masih problematis. Pertama, banyak media memberitakan pelecehan perempuan juga justeru terjadi di tempat kerja, seperti pemerkosaan, penganiayaan, eksploitasi TKW, komersialisasi seksualitas, dsb. Kedua, banyak ekonom yang menghubungkan penghasilan perempuan dengan perpecahan keluarga. Asumsinya, ketika penghasilan perempuan meningkat, perempuan dapat menopang dirinya sendiri dan membesarkan anaknya secara lebih baik tanpa harus bersandar pada suami. Namun, meningkatnya penghasilan ini berbanding lurus dengan kehilangan peluang yang berarti seperti memiliki anak dan kesuburan. Oleh Becker, sebagaimana dikutip Francis Fukuyama dalam buku Guncangan Besar, sedikitnya anak berarti semakin kecil modal bersama dalam perkawinan, sehingga memperbesar kemungkinan perceraian. 

Keluarga dalam novel di atas dilihat sebagai sistem realitas yang mempekerjakan perempuan menyuap moster penguasa global dan ketika ia tidak memiliki sejumlah unggulan ia didepak keluar. Aktualitas “Perempuan di Titik Nol” di era pasar bebas ini masih terasa. Diskriminasi tetap ada, kemasan  atau pergantian peradaban saja yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar