Rabu, 21 Desember 2011

AMROZI dkk JUGA MANUSIA (MEMPERTANYAKAN HUKUMAN MATI)


Penulis: Ambros Leonangung Edu


Keputusan eksekusi terhadap Amrozi cs karena kasus Bali I rencananya dilaksanakan pada awal November 2008 ini. Entahlah kapan kepastiannya, kita masih menunggu. Yang jelas, eksekusi sempat ditunda beberapa kali.
Andaikan eksekusi tidak dapat dihindari, kontroversi tentangnya tidak akan pernah berakhir. Duduk perkaranya adalah legitimasi hukum yang adil. Kontroversi semacam ini bukanlah pertama kali terjadi di Indonesia. Kita ingat terakhir begitu hangat pada waktu eksekusi Tibo cs tahun 2006 lalu.  
Kalau dibuat kategori, kira-kira kontroversi itu terbagi dalam dua kelompok yang berseberangan. Ada kelompok yang mendukung eksekusi dan ada kelompok yang menolak eksekusi. Kelompok yang mendukung eksekusi menggunakan pendasaran argumentasi retributif dan deterrence. Mereka beranggapan bahwa Amrozi cs telah melakukan terorisme, sebuah kejahatan sistematis dan meluas yang berdampak pada penghilangan sekian nyawa manusia tak berdosa serta trauma fisik dan psikologis. Karenanya eksekusi mati merupakan cara efektif yang bersifat retributif, menebus, atau membayar atas kejahatannya, sekaligus jera (deterrence) yang melaluinya orang menarik pelajaran bahwa terorisme itu jahat. Di sini hukuman mati mengandung dua tujuan sekaligus yakni bersifat retributif karena setimpal dengan perbuatannya yang sudah terjadi di masa lalu, dan deterrence sebagai shock therapy supaya kejahatan yang sama tidak akan terulang kembali bagi orang lain di masa yang akan datang.
Kelompok kedua melihat eksekusi sebagai sebuah kejahatan. Mereka berargumen, hukum positif yang mengizinkan menghukum mati seseorang karena kejahatannya, bertentangan dengan substansi hukum itu sendiri yang mestinya melindungi kemanusiaan. Namun, perjuangan kelompok ini sering terkandas di hadapan otoritas penguasa yang defensif terhadap tema-tema keadilan, cinta kasih, atau kemanusiaan. Tidak hanya itu pendasaran moralitas sering ditafsir di dalam lingkaran relativisme, bahwa kebaikan atau kejahatan itu relatif, sehingga perjuangan kelompok ini dianggap tidak berdasar.
Saya melihat bahwa pro-kontra masalah eksekusi akan terus berlanjut sejauh ia masih berlaku. Pada suatu sisi, para penegak hukum sering tidak mempunyai komitmen dan konsistensi untuk membuktikan bahwa hukuman mati bisa dipertanggungjawabkan menurut asas keadilan. Kita lihat pada kasus Tibo di mana banyak kalangan masih meragukan keputusan eksekusi ketika ditemukan bukti-bukti baru (novum) yang lebih kuat untuk memberi arah yang jelas atas peristiwa yang dituduhkan secara hukum sebagai terorisme.
Di lain pihak, hukum tentang eksekusi belum sungguh-sungguh menjawabi pluralitas pemahaman dan keyakinan. Ada berbagai pertanyaan yang meminta pertanggungjawaban hukum mengenai keharusan membunuh si pelaku yang telah melakukan kejahatan. Namun para penguasa kita sering mencari jalan pendek. Keadilan substantif dicampuradukkan dengan keadilan prosedural. Padahal hukum adalah konsensus bersama dari dialektika budaya, agama, adat istiadat, dsb. Entitas budaya, agama, adat-istiadat dalam dirinya sendiri berjalan dinamis dalam konteks. Maka hukum pun perlu membuka ruang bagi komunikasi yang kontekstual dan mengikuti semangat zaman (zeitgeist). Eksekusi atau hukuman mati terbilang tidak relevan untuk diterapkan di dalam iklim demokrasi yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Eksekusi hanya cocok di era kolonialisme karena dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi para penguasa dan ekspansi kekuasaannya.
Jika hukuman ini diberlakukan di Indonesia saat ini, sebuah paranoia tengah merasuki para pemimpin kita. Mereka tak ingin anak-anak bangsanya nakal dan bermain api. Cita-cita SBY benar bahwa keamanan adalah kunci kelancaran pembangunan bangsa. Akan tetapi membunuh warga yang bersalah karena telah menegasikan keamanan, prioritas itu tidaklah sungguh-sungguh bernilai.
Sebagai manusia normal, kita tidak (akan) pernah menyetujui aksi teror yang dilakukan Amrozi cs. Kita pun tidak menyetujui mereka mengalasi perjuangan mereka dengan paham-paham keagamaan. Itu semua bahasa politis eufemistis supaya kita menerima bahwa perbuatan mereka benar. Terorisme tetap jahat secara objektif. Hanya yang jadi soal, ketika mereka dihukum dan dibunuh, apakah ada relevansi pengurangan kuantitas para “penjahat” dengan kualitas hukum kita? Dan apakah dengan membunuh, akar kejahatan akan terputus?
Benar bahwa pelaku harus diadili. Etika sosial mengajarkan, “bonum faciendum et malum evitandum” (lakukanlah yang baik dan hindari yang jahat!). Kejahatan harus dihindari. Peng-adil-an dibuat untuk memberi pertanggungjawaban tindakan di dalam kerangka keadilan. Pengadilan tidak mesti membunuh “si penjahat” demi keadilan. Ketika kejahatan yang dibuat harus dibayar dengan nyawa, hukuman tersebut kontradiktoris. Kontradiksi karena memikirkan keadilan dan kemanusiaan apriori tapi menegasikan kemanusiaan dalam diri seorang manusia konkret.
Artinya di sini ada kekacauan logika berpikir. Kejahatan dengan kemanusiaan direduksi satu sama lain. Masalah kejahatan adalah masalah perilaku, masalah aktualisasi diri. Perilaku yang jahat bisa jadi merupakan aktualisasi atau ungkapan kemanusiaannya yang jahat. Tetapi perilaku yang jahat tidak berarti seluruh kemanusiaannya jahat. Kemanusiaan jauh lebih eksistensial daripada sesuatu yang merupakan hasil perbuatannya.
Logika para pemimpin negeri ini simplistik. Mereka menghilangkan kemanusiaan seseorang, membunuhnya, menghilangkan sumbernya, yakni nyawa manusia, demi membayar kemanusiaan itu sendiri pada orang-orang yang sudah menjadi korban pelaku, dengan alasan retributif dan deterrence.
Bonum faciendum, malum evitandum mensyaratkan bahwa kejahatan itu memang ada. Bahkan di mana-mana. Potensi kejahatan ada secara imanen dalam diri manusia entah itu masyarakat biasa, bupati, gubernur, DPR, dan presiden. Manusia adalah makluk imanen, yang terbatas dalam dirinya sendiri, sehingga kemungkinan berbuat jahat pun ada. Namun manusia juga adalah makluk transendens; ia memiliki jiwa, hati, pikiran, untuk merasa, merenung, dan menilai. Terorisme adalah tindakan melawan kesadaran, jiwa, hati, dan pikiran. Betapapun seseorang telah melakukan kejahatan paling besar, ia masih mempunyai kemanusiaan dan kesadarannya. Hukum, seperti halnya agama atau budaya (yang baik), mau tidak mau harus berusaha sekian rupa menjaga sesuatu yang namanya manusia. Retribusi dan deterrence senantiasa dibangun dalam kerangka membentuk citarasa hidup bersama, betapapun itu sulit. Karena itu, dari perspektif ini hukuman mati yang menghilangkan kemanusiaan seseorang secara keseluruhan sebenarnya merupakan intoleransi, kesesatan berpikir, dan paranoia penguasa.
Tak ada gunanya membunuh terus-menerus manusia, toh tidak akan menghilangkan kejahatan. Kejahatan itu ada di mana-mana. Banyak pemimpin kita pun jahat, hanya dengan cara lain. Korupsi trliunan rupiah, misalnya, sama bahayanya dengan terorisme. Para koruptor pelan-pelan tapi pasti membunuh rakyat kebanyakan, mematikan potensi untuk berakses dalam negeri ini, sehingga generasi berikutnya merasakan kemiskinan yang jauh lebih parah.
Maka, saatnya eksekusi ditolak. Sampai sekarang hukuman mati di mana-mana belum membuktikan terciptanya masyarakat bebas kejahatan.
Amrozi pun manusia! Koruptor pun manusia! Semua kita manusia! (Tulisan menjelang eksekusi Amrozi, dkk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar