Rabu, 21 Desember 2011

PEMILU DAN KEKUASAAN


Oleh: Ambros Leonangung Edu


Setiap pemilu dalam sebuah negara demokrasi biasanya ada dua aspek yang diperhatikan yakni peta setiap instrumen politik dan partisipasi konstituen secara langsung.
Kedua aspek ini tampak sebagai pintu masuk untuk mencari kekuatan demokrasi di negara itu. Demokrasi meletakkan pada tempat pertama penghargaan terhadap kebebasan, kesamaan, dan kedaulatan rakyat.
Pemilu merupakan mekanisme politik menuju demokrasi. Karakteristik pemilu yang demokratis adalah ketika ia menyandang nilai-nilai kebebasan dan kedaulatan rakyat. Ini berarti kekuasaan tidak dikehendaki.
Dalam realitasnya, kedaulatan rakyat dengan kekuasaan selalu berada dalam ketegangan, ketegangan yang bersifat asimetris. Semakin kuat kedaulatan rakyat, kekuasaan semakin melemah. Sebaliknya, semakin kuat kekuasaan, kedaulatan rakyat semakin melemah. Jika kedaulatan rakyat semakin kuat, ruang bagi penentuan hak dan pilihan politik bagi setiap warga terbuka lebar. Sebaliknya jika kekuasaan yang semakin kuat, iklim politik di dalam negara cenderung represif dan otoritarianistik.
Di Indonesia, fenomena kekuasaan masih lebih kuat daripada kedaulatan rakyat. Paling terasa pada masa Orde Baru. Pada masa ini kebebasan dan kedaulatan politik dipasung. Sentrum  kekuasaan ada di tangan presiden. Sementara presiden lebih mementingkan status quo dan kekayaan diri. Dia merangkul para pejabat negara dan mengatur mereka untuk urusan perekonomian. Kelompok yang berlawanan dieliminasi secara paksa. Kekuatan militer dibangun, tetapi dilonggarkannya di dalam urusan bisnis. Pebisnis-pebisnis asing banyak berinvestasi di Indonesia. Sebagai contoh, Soeharto mengembangkan Revolusi Hijau di bidang pertanian dengan memaksa lahan-lahan petani menggunakan pupuk-pupuk kimia untuk mendongkrak perekonomian nasional; lalu dia mengundang para investor asing untuk mengembangkan benih-benih transgenik.
Krisis Asia tahun 1997 yang turut mengguncang perekonomian Indonesia dan tak responsifnya Soeharto atas kompleksitas persoalan kemiskinan yang meliliti bangsa RI ini, membuat dia turun takhta. Para konglomerat kebakaran jenggot. Di tengah keguncangan ekonomi dan disorientasi politik, IMF berperan sebagai sebagai penenang efektif. IMF memberi bantuan, tapi diam-diam ia membangun di Indonesia agenda fundamentalisme pasar atau pasar bebas. Agenda IMF begitu cepat diterima apalagi banyak elite negara berhaluan peta ala Washington ini.
Sentralisme kekuasaan di tangan Soeharto tumbang. Agenda reformasi dan demokrasi terus didesakkan. Sementara itu fundamentalisme pasar mulai menjamur di Indonesia, padahal praktik politik ekonomi ini lemah secara teoretis-epistemologis karena menerapkan secara serampangan tesis liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Ujung-ujungnya memuat banyak kepentingan korporat negara-negara maju.
Lalu, ke mana kekuatan politik dan ekonomi pasca-Soeharto bermuara? Biarpun kebebasan terus didesakkan, tetapi kebebasan dan kedaulatan, khususnya peta demokrasi macam mana yang mau dibangun, belum sungguh-sungguh bertumbuh. Kekuatan politik kita masih dipegang elite bermodal. Sering dituduhkan adalah parlemen dan partai-partai. Hal ini sejalan tampak masuk akan karena masih menjamurnya politik uang dan korupsi.

Jenuh pada politik

Akumulasi sentimen negatif pada politik karena terkontamintasi oleh pragmatisme dan kapitalisme memuncak dalam pemilu. Rakyat enggan berpartisipasi. Data Kompas menunjukkan fenomena ini. Pada Pemilu 1999 partisipasi rakyat mencapai 92,74 persen; partisipasi pemilu legislatif tahun 2004 turun ke 84,07 persen, Pemilu Presidennya putaran I dan putaran II masing- masing sebesar 78,23 persen dan 77,44 persen (Kompas; 17/06/2008).
Rakyat tampaknya jenuh pada politik setelah mereka berjalan mengikuti dan mencatat setiap irama sejarah. Mereka melihat politik kita mengandung relasi kekuasaan predatoris. Persaingan terjadi di tingkat elite dan rakyat mangsaannya.
Politik membangun tembok pemisah dari kehidupan masyarakat biasa. Ia lebih elitis dan tertutup. Ketika rakyat menganggap politik sebagai ruang perhelatan politisi-pemodal, di situ politik kehilangan empati. Dan instrumen-instrumennya, seperti parpol, menumbuhkan potensi syarat kepentingan semacam itu.
Bagaimana kita melihat fenomena pemilu di mana parta-partai bertumbuh seperti jamur di musim hujan, dan orang-orang ramai-ramai menuju mendafarkan diri menuju kursi legislatif? Apakah itu tanda bahwa benar-benar mencerminkan iklim demokrasi sedang baik? Ataukah itu sebuah proyek politik? Bagaimana hakekat keterlibatan rakyat memilih wakilnya secara langsung?
Pemilu langsung hanyalah salah satu wujud dari kedaulatan rakyat tetapi tidak mencirikhasinya secara keseluruhan. Tocqueville mengatakan, di Amerika Serikat kedaulatan rakyat diterima dan dijadikan sebagai citarasa budaya dan adat istiadat, lalu mengartikulasikannya ke dalam undang-undang untuk melegitimasinya.
Bagi kita di Indonesia, kedaulatan terwujud lima tahun sekali. Tidak mengakar dalam budaya dan pola pikir. Demokrasi kita baru sampai pada tahap meletakkan prosedur dan mekanisme. Substansinya belum berjalan. Pemilu jadinya kurang lebih sebagai rutinitas. Toh ada kebebasan bagi penentuan hak dan sikap politik, tetapi roda kepemimpinan pasca pemilu sering terlambat menjalankan terobosan-terobosan. Setelah pemilu, pemimpin-pemimpin menjalankan roda perpolitikan mengikuti mainstream yang mengakar di dalam sistem birokratik. Karena itu mengidentifikasi pemilu langsung dan multipartai dengan demokrasi adalah sebuah kesimpulan yang gegabah dan simplistik.
  
Pemimpin paradigmatik

Dalam peilu, yang kita harapkan adalah kehadiran seorang pemimpin yang benar-benar membawa Indonesia ke arah perubahan signifikan. Dalam hal ii kita membutuhkan pemimpin paradigmatik Seorang pemimpin tidak hanya mengandalkan kepiawaian untuk bernegosiasi atau berdiplomasi, tetapi juga berpihak dan berpijak pada rakyat, dan menerobos sistem. Kita membutuhkan pemmpin yang melawan arus di tengah riakan mahadahsyat dalam sistem perpolitikan kita yang koruptif. Kita membutuhkan pemimpin yang membuat pemilu menjadi lebih bermakna, elegan, dan demokratis. Karena itu dekonstruksi pola-pola lama yang memelekkan mata kita untuk memandang kebenaran dan keadilan objektif, penting. Sudah terlalu lama kekuasaan negara disetir pada konglomerat dan pebisnis-politisi, dan kita sering menganggap hanya merekalah yang berdaulat di negeri ini. Akankah itu terwujud? (Tulisan pada 2008 saat krisis global)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar