Rabu, 21 Desember 2011

Petani: “Investor” yang Terlupakan


Oleh: Ambros Leonangung Edu

 
 “Petani adalah investor”, mungkin merupakan tese yang bisa sangat diragukan. Jangan-jangan pemahaman kita sudah terkonstruksi oleh suatu realitas sistemik yang menjalar tanpa kita sadari. Itulah yang perlu dikritisi. Bahwa, selama ini kita sudah “keenakan” dengan sensasi politik hegemonistik negeri kita yang lebih memposisikan investor sebagai mereka yang memiliki kapasitas finansial, kuasa, dan akhir-akhir ini adalah orang asing. Investasi jadinya elitisme; miliknya para pengusaha, penguasa, politikus, dan orang pintar.

Konsepsi dan praktik politik demikian tentunya menciptakan pengkotak-kotakan dan peminggiran terhadap mayoritas penduduk. Kita semua tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah petani. Sebenarnya para petanilah yang pantas disebut sebagai investor. Mereka memiliki aset berupa lahan potensial yang meliputi 80-an % kabupaten/kota di negeri ini. Komoditas yang dihasilkan pun sudah terbukti mendongkrak pasaran dunia. Para petani tahu bahwa investasi untuk pertanian berisiko tinggi. Sering margin yang diperoleh tidak sebanding dengan investasi dan perjuangan mereka berhadapan dengan evolusi alam yang tidak menentu. Belum ditambah dengan biaya pajak tanpa keringanan. Namun, mereka tetap bekerja walau kadang mengeluh, kadang protes, sebagai proyeksi ketidakpuasan terhadap monster birokrasi.

Kita mestinya bersyukur karena para petani telah memberi kita makan dari pagi sampai malam. Setelah bangun pagi di esok hari, semua bahan konsumsi sudah tersedia di pasar. Mereka mempertahankan eksistensi bangsa ini hingga sekarang dengan memberi makan anak bangsanya. Alhasil, aktivitas PNS, polisi, birokrat, politisi, aktivis, presiden, dan semuanya, bisa bekerja dengan lancar.

Lantas, pelayanan apa yang mereka peroleh dari pemerintah sebagai pelayan masyarakat? Orientasi kebijakan politik pertanian kita bukan soal tidak jelas sebagaimana dilansir banyak pengamat politik selama ini. Substansinya terletak pada tidak adanya option, keberpihakan, yang membuat kebijakan menjadi tidak jelas dan tidak tetap sasar.

Pertama, tidak ada keberpihakan dari pemerintah kepada rakyat [petani]. Perhatian pemerintah berupa APBN sama sekali tidak mencukupi untuk berbagai kebutuhan investasi para petani. Kita baru menurunkan 8 triliun dari 800 triliun APBN, artinya baru 1 %. Sesuatu yang tidak menjanjikan.

Kedua, tidak tepat sasar. Kita ingat program Revolusi Hijau Soeharto yang memaksakan produktivitas tanah untuk mendongkrak perekonomian nasional dengan mendistribusi pupuk anorganik. Soeharto mendirikan perusahaan-perusahaan besar untuk mengakses produk anorganik dan mengundang para investor asing untuk mengembangkan benih-benih transgenik. Sampai saat ini Revolusi Hijau meninggalkan mentalitas ketergantungan para bahan anorganik yang membuat lahan kering dan tidak subur.

Setelah Revolusi habis, ada lagi yang sekarang dinamakan Revitalisasi Pertanian yang dicanangkan sejak tahun 2005. Lagi-lagi, de facto, kebijakan tersebut kontradiktif dan non-sense. Belum terealisasi sampai sekarang. Tidak adanya sinergisitas antara program, dana yang dipersiapkan dan kebutuhan.

Dari dulu sampai sekarang, pemerintah malah memperhatikan para investor asing dan membiarkan mereka menguasai negeri berlimpah susu dan madu ini. Mengizinkan investor asing masuk berarti, menjadikan para petani sebagai pekerja dan penggarap di ladangnya sendiri, menjadi tamu di rumah sendiri. Salah satu indikasi ini bisa dilihat dari lahan-lahan produktif kita yang besar, namun dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang sebagian besarnya perusahaan-perusahaan asing. Sementara itu, konversi lahan terus-menerus dilakukan pemerintah untuk pemukiman karena ada pembengkakan jumlah penduduk. Jadi, tidak menjamin konversi bisa memenuhi substansi kebutuhan masyarakat.

Kebijakan politik kita tidak terarah kepada kebutuhan yang sungguh-sungguh dirasakan, tetapi demi sebuah pertumbuhan ekonomi yang berkaca pada neoliberalisme.  Pertanian mau diliberalisasi. Dengan demikian, masuknya investor asing merupakan proyeksi mentalitas pemimpin yang ‘tergoda’ dengan sensasi modal, padahal politik neoliberalisme menderegulasi peran pemerintah supaya banyak aset diprivatisasi.  

Kebijakan politik yang benar adalah kebijakan yang pro rakyat dengan berlandaskan pada kebutuhan yang sungguh-sungguh dirasakan. Apa artinya kita memperjuangkan negara dengan mayoritas petani, tapi arahnya adalah politik modal? Petani menyadari bahwa bumi adalah dan hanyalah satu-satunya sumber kehidupan mereka. Karena itu, mereka bekerja keras membanting tulang demi mempertahankan yang namanya hidup.

Spirit dan inspirasi politik kita barangkali bisa beranjak dari realitas hidup petani. Jalannya, dengan politik “meramu”. Meramu berarti membuat sesuatu agar sesuatu itu bisa hidup dengan suatu prinsip bahwa sesuatu itu mempunyai potensi yang membuatnya bisa bertumbuh. Bagaimana membuat petani bisa membangun, adalah dengan meramu, dengan memberikannya hak yang sepantasnya, dengan memberi subsidi dan apreasiasi. Itulah politik meramu-nya petani, politik sederhana tapi nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar