Rabu, 21 Desember 2011

Resesi AS dan Kewajiban Moral


 
Penulis: Ambros Leonangung Edu

Masalah resesi tidak bisa dipandang sebelah mata dengan anggapan bahwa masalah itu adalah masalah Amerika Serikat saja, lalu dengan begitu gampang mengelak atau mengelabui dari kenyataan dengan mengatakan, misalnya, Indonesia belum terpengaruh resesi AS secara signifikan. Kita tahu sebagian perekonomian dunia, termasuk Indonesia, dipengaruhi perekonomian AS. Karena itu, memikirkan Indonesia berarti juga memikirkan AS, begitu pun sebaliknya.

Perekonomian AS tetap berada dalam kondisi buruk. AS mengalami krisis keuangan terbesar sejak The Great Depression. Resesi AS diawali krisis kredit perumahan, subprime mortage, dan hingga sekarang prosentase kebangkrutan karena krisis subprime mortage itu makin besar. Kebangrutan kredit perumahan paling besar terjadi di usaha individual; tahun 2006, krisis kebangkrutan individual sebanyak 617.660 kasus, tahun 2007 meningkat menjadi 822.590 kasus, dan diperkirakan tahun 2008 akan lebih tinggi lagi lebih dari 1 juta kasus. Pada kasus kebangkrutan bisnis, prosentasenya pun meningkat. Kebangkrutan bisnis tahun  2007 sebesar 28.322 kasus [44 %], dan pada kuartal I [April-Juni] tahun bisnis 2008 ini saja sudah mencapai 16 %, kemungkinan akan lebih besar.

Masalah ini menjadi kompleks lagi.  Permintaan global dan lemahnya mata uang dolar US terhadap mata uang asing lain mengakibatkan barang-barang komoditas melonjak. Awal pekan kemarin sempat pada kisaran 109 $ US /  barrel, tetapi pada akhir pekan menembus $ US 115 / barrel. Harga minyak yang tinggi ini mempengaruhi hubungan ekspor antara negara di mana biaya ekspor menjadi mahal. Ekspor yang terganggu ini akan menekan produk domestik. Di AS, persaingan produk domestik tidak stabil.

Kemungkinan, krisis AS akan berskala global. Hal ini menjadi awasan negara-negara. Di Jepang, misalnya, Hiroko Ota, Menteri Ekonomi Jepang, juga diingatkan Masaaki Shirakava, Gubernur BoJ, bahwa resesi AS membawa dampak negatif terhadap lapangan pekerjaan dan konsumsi mereka. Menurut prediksi negara-negara G-7 resesi AS masih panjang. Dan jika resesi ini masih panjang dan terus meningkat, maka akan terjadi masalah kemiskinan berskala global. Managiing Director IMF Dominic Strauus mengingatkan kemungkinan terjadinya krisis pangan dunia, yang akan menciptakan kemiskinan lebih luas.

Antisipasi resesi sudah dibuat antara lain dengan pemotongan suku bunga. Namun, sebagaimana Stiglitz  katakan, pemotongan suku bunga tidak cukup mengatasi krisis besar ini. Masalah ekonomi ini bersifat kompleks, sehingga kebijakan pemotongan suku bunga belum menjamin sepenuhnya perekonomian akan meningkat, apalagi harga minyak dunia terus meningkat. Lantas negara mau buat apa? Pertanyaan ini hampir terlambat karena resesi hampir mendekati masalah global.

Pengalaman resesi ini kiranya menjadi suatu pelajaran bagi kita semua, khususnya penentu kebijakan publik. Dunia yang kita tempati sekarang syarat dengan muatan kepentingan kaum fundamentalisme pasar. Pelaku-pelaku pasar [elit-elit ekonomi global] mengkonstruksi proyek politis untuk mengakumulasi modal. Di sinilah kesombongan pemangku pasar bebas yang meredusiksi pergerakan pasar dan multidimensionalitas kehidupan kepada apa yang David Harvey sebut “The ficancialization of everything”, finansialisasi segala sesuatu [David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, hlm.33]. Nah, ketika banyak kebijakan disangsikan, ketika pendasaran rasionalitas tak mampu memprediksi market global, dan ketika pergerakan market global dikuasai kaum fundamentalisme pasar, apakah masih relevan berbicara tentang kewajiban moral? Kepedulian moral berarti keterbukaan melampaui rasa ingat diri terhadap kemanusiaan orang lain, khususnya terhadap rakyat sederhana yang tidak tahu apa-apa tentang proyek politik tersebut. Tetapi bagaimana mungkin kaum fundamentalis yang merasa untung selama ini merasakan tiba-tiba adanya empati terhadap kemanusiaan orang lain?

Perekonomian AS adalah satu-satunya kekuatan ekonomi dunia saat ini. Seberapa pun benteng kebijakan perekonomian suatu negara menangkis imbas resesi yang semakin mengglobal, ia tetaplah parsial dan pada waktunya terkena imbas. Pengalaman resesi AS mencerminkan bahwa fundamentalisme pasar yang terlalu optimis dengan akumulasi modal ternyata membawa bencana kemanusiaan. Berbicara tentang moralitas bukanlah bahasa hiburan ketika orang-orang pintar tidak sanggup menata dunia dari segi kalkulasi ekonomi-politik, bukan pula kata-kata mutiara dari orang-orang beragama, melainkan motivasi dasar yang menyatukan semua persepsi kepada kepedulian global. 

 (Tulisan ini dibuat pada April 2008) sebagai refleksi ilmiah atas resesi Amerika Serikat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar