Rabu, 21 Desember 2011

SEJARAH DAN SOAL KEBENARAN (Catatan atas Kasus Tim-tim)

Penulis: Ambros Leonangung Edu

 
Pertemuan dua negara, RI dan Timor Leste di Nusa Dua-Bali tanggal 15 Juli 2008 kemarin ―setelah memperhatikan laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan― bersepakat menutup secara resmi kasus Tim-tim. Tentu banyak orang telah sekian lama menanti terbongkarnya kedok kebobrokan di balik tragedi kemanusiaan Tim-tim itu, akan tetapi peradilan tidak bisa diteruskan. Presiden Timor-Timur, Jose Ramos Horta, mengatakan, “Keadilan harus melihat ke depan...untuk membangun persahabatan kedua negara [Tempo, 15 dan 16 Juli 2008].

Dengan demikian, persoalan tragedi kemanusiaan Timor Leste tinggal kenangan. Kesombongan, dendam, tangis, luka nestapa korban karena kehilangan keluarga dan sanak saudara, harus ‘dilupakan’ demi persahabatan, demi relasi ke depan. Di sini kita harus jujur bahwa kualitas dari solusi yang ditempuh sekarang ini memang tidak sebanding dengan kepahitan yang dialami oleh korban yang merasakan tragedi itu secara langsung. Mungkin langkah yang dipilih kedua negara ini adalah minus malum, pilihan terbaik di antara pilihan-pilihan yang buruk, ketika para pelaku menghilangkan jejak, saling mengkambinghitamkan, menutup mulut penguasa, mengaburkan opini, memperlambat proses yudisial, yang membuat persoalan tidak pernah selesai. Minum malum jelas tidak memuaskan banyak orang dan tidak akomodatif terhadap keadilan dan kebenaran objektif.  

Dengan berlalunya waktu, kita hanya bisa diingatkan bahwa tragedi kemanusiaan Tim-tim mengindikasikan kegagalan dalam kancah sejarah perpolitikan kita. Sejarah masa lalu kita mengedepankan semboyan “Si Vis Pacem Para Bellum”,jika ingin berdamai siapkanlah perang”. Militer lalu menjadi barisan siap pakai dan jalan paling jitu memuluskan keamanan atau kepentingan penguasa. Akibatnya, korban berjatuhan, dan catatan-catatan sejarah penuh goresan darah para korban. Para pemimpin menyangka bahwa dengan mengangkat senjata, maka kebenaran bisa ditegakkan. Kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran sering merupakan kendaraan bagi penegakan status quo. Kebenaran bergantung kepada siapa yang mempunyai ‘power’ untuk mengatakannya. Penguasa menganggap dirinya benar dan tidak menganggap apa-apa orang lain. Cara seperti ini cenderung menggunakan kekuatan mesiu dan otot untuk mempersenjatai kebenaran.

Padahal, kebenaran tidak dicapai dengan mengangkat senjata. Kebenaran tidak perlu dipersenjatai untuk  membela dan mempertahankannya. Senjata kebenaran adalah kebenaran itu sendiri. Kebenaran berarti adaequatio rei et intellectus [kesesuaian antara apa yang dipikirkan dengan kenyataan]. Benar selalu berarti benar dalam pikiran, prinsip, cita-cita, dan benar juga dalam hasil dari tindakan. Kita ingat Martin Luther King, pendekar kulit hitam yang memperjuangkan emansipasi rasial. Martin King mengatakan, I Have A Dream. Dia bermimpi, berideologi tentang kebebasan dan kebenaran yang diperjuangkan tanpa bedil dan pentung, tapi dengan tangan hampa. Hanya bermodalkan rasa apresiasi bahwa musuh pun memiliki kemanusiaan. Bahwa, menghargai kemanusiaan tidak dengan cara menghancurkan kemanusiaan oranglain, melainkan dengan cara meyakinkan lawan bahwa semua manusia sama, dan bahwa musuhpun bisa berubah sekurang-kurang menyadari bahwa dia salah.

Masalah Tim-tim tetaplah masalah masalah kemanusiaan dan masalah sejarah. Sebagai masalah kemanusiaan, dia tidak bisa dibatasi pada justifikasi hukum. Kemanusiaan melampaui hukum. Sedangkan sebagai masalah sejarah, ia tidak sekadar masa lalu. Sejarah adalah ‘factum’, fakta, terjadi sebagaimana adanya. Untuk mengenang sejarah kita bisa mengenalnya dari berbagai arsip, dokumen, kisah tertulis, prasasti. Namun, semua ini cuma ‘mengarsipkan’ pengalaman kemanusiaan yang hilang. Kemanusiaan lebih penting daripada objek yang ditandakannya. Karena itu, sejarah tidak identik dengan objek. Sejarah hanya sejauh berhubungan dengan kemanusiaan dan bukan dengan dokumen atau arsip. Karena ia adalah factum, sebagaimana terjadi. Inilah alasannya mengapa kata ‘maaf’, sebagaimana dikatakan Ketua DPR, Agung Laksono, “Para pelanggar hak asasi dinilai cukup meminta maaf” [Tempo, 16 Juli 2008] sebenarnya tidak cukup mengobati luka masa lalu. Kata “maaf” atau eufemisme bahasa sekalipun tidak pernah menggantikan kesalahan. Sejarah tetap sejarah. Kesalahan tetap kesalahan. Minta maaf cumalah pengertian terhadap kesalahan sejarah, tapi bukan pengganti sejarah itu sendiri.  

Dengan menarik pelajaran dari kasus Tim-tim berarti bahwa negara Indonesia perlu merevitalisasi pendekatan terhadap kemanusiaan, merevitalisasi sejarah agar tidak diobjektifikasi dan tak terlupakan, merevitalisasi kebenaran. Kita bukanlah bangsa yang suka meninggalkan kenangan pahit untuk oranglain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar