Rabu, 21 Desember 2011

KONFLIK KPK – POLRI DAN KEDEWASAAN POLITIK


Oleh: Ambros Leonangung Edu
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero – NTT


Penahanan pimpinan KPK (non-aktif) Chandra - Bibit menimbulkan konflik yang kian meruncing antara KPK dan lembaga kepolisian. Kepolisian menahan keduanya karena ada dugaan penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi, secara legal formal, dasar penahanan itu tidak kuat karena hanya mengandalkan pasal karet. Kemudian, kedua pimpinan KPK ini menerima penangguhan penahanan. Kasusnya kini sedang bergulir dengan kerja Tim 8, yang entah akan bermuara pada apa. Publik masih menunggu.
Inilah fakta di mana terjadi konflik antar lembaga negara. Pertarungan Buaya versus Cicak, sebutan lain dari konflik ini. Patut dicatat bahwa belum pernah ada konflik antarlembaga sebesar ini sebelumnya. Kalau pun ada, riak-riaknya tidak kedengaran sebagaimana yang terjadi hari-hari ini antara KPK-Kepolisian (Kejaksaan). Selama ini para pejabat negara kita lebih ingin roda politik berjalan “mulus”, dan menghindari sedemikian rupa upaya-upaya yang menimbulkan konflik. “Tertib politik”, itulah yang selalu diusahakan. Suharto dan kroni-kroninya membangun basis militer yang kuat untuk memuluskan kekuasaannya dan mengeliminasi secara paksa kelompok-kelompok yang berlawanan. Rakyat, dalam lingkaran kekuasaan semacam ini menjadi kaum miskin, lapar, dan tertekan. Rakyat berada di periferi kekuasaan yang tak diperhitungkan sama sekali. Tidak bisa dibayangkan, kekuatan massa sebagaimana dukungan terhadap KPK hari-hari ini terjadi pada era pemerintahan Suharto, pada era sebelum kejatuhannya Mei 1998 itu. Secara statistik rakyat adalah mayoritas tetapi secara sosiologis, rakyat itu minoritas, terpinggirkan dan termarginalkan.
Namun era reformasi, seperti membuka ruang di mana era kebebasan itu ada.  Ada ruang di mana kebebasan berpendapat itu diberikan. KPK, sebagai lembaga bentukan ‘era roformasi’ itu lahir dalam era ini, yang diperuntukkan untuk memberantas korupsi. Hadirnya KPK, di tengah budaya ‘tertib politik’ tentu menjadi ancaman terhadap kekuasaan yang selama ini korup. Ia merangsek ke tubuh-tubuh kekuasaan untuk membongkar semua praktek korupsi. Ia seperti mengoyak kekuasaan dengan usaha dan niat luhur memberantas korupsi yang memang sudah lama menggurita di republik ini. Ia bahkan dicap sebagai ‘lembaga super body’, lantaran wewenangnya yang besar ini. Betapa pun awalnya KPK disinyalir masih melakukan penanganan korupsi secara tebang pilih, namun toh kemudian ia berani unjuk gigi, yang membuat pihak-pihak tertentu ketar-ketir. Pihak-pihak inilah yang kemudian, dengan segala daya upaya, semisal pintu hukum, berusaha menghadangi gelombang kekuasaan KPK yang teramat besar ini. Anak kandung reformasi ini pun dibuat ‘lemah’ dan bila perlu dimatikan saja. Sayang seribu sayang, rakyat melihat indikasi ini dan berteriak lantang untuk berdiri di belakang KPK. Cintai Indonesia, Cintai KPK (CICAK) adalah gerakan masyarakat mendukung eksistensi KPK yang sedang digerayangi oleh tangan-tangan kotor kekuasaan. Konflik pun menjadi sebuah jalan yang harus dilalui untuk sampai pada perubahan.

Mengapa Konflik?
Menurut Max Weber, konflik adalah motor penggerak perubahan. Dalam suasana di mana terjadi diisintegrasi bangsa karena dominasi kekuasaan yang begitu kuat dan cacat penegakan hukumnya, konflik adalah suatu pilihan.
Di Indonesia, akar dari segala permasalahan yang menimpa negara adalah kekuasaan di tangan para elit yang begitu kuat. Kekuasaan dan kedaulatan selalu berada dalam relasi asimetrikal. Ketika kekuasaan di tangan elit begitu kuat, maka kedaulatan rakyat menjadi lemah. Sebaliknya, ketika kedaulatan rakyat menguat, maka kekuasaan melemah. KPK, dalam hal ini sebagai representasi suara-suara reformasi (suara-suara rakyat) kemudian harus berkonflik dengan ‘kekuasaan’ yang diwakili oleh lembaga kepolisian dalam hal ini.
Apakah ini semata-mata bentuk perlawanan emosional dari rakyat yang bodoh, tidak punya otak, dan hanya punya otot saja? Rasa-rasanya tidak. Konflik yang terjadi adalah suatu pilihan sangat rasional. Rasionalitas atas dasar keadilan, rasionalitas atas dasar ‘kebenaran.’ Konflik bukan reaksi infantil yang merusak, tetapi ia adalah bagian dari proses menuju kedewasaan yang lahir dari keputusan yang sangat ‘rasional.’ Kedewasaan yang dimaksud dalam kisruh KPK – Polri adalah kedewasaan politik. Kedewasaan politik itulah perubahan sosial. Dengan demikian, patut disadari bahwa konflik yang terjadi antara KPK – Polri saat ini, perlu juga dibaca dalam kacamata ini. 
Bagaimana konflik memungkinkan perubahan? Bukankah konflik dapat membuat pihak-pihak yang berkonflik menimbulkan sikap antipati dalam dirinya? Sosiolog Lewis Coser berpendapat bahwa selain berdampak negatif, konflik dapat memberi dampak positif yang bisa jauh lebih besar.
Pertama, konflik mereformasi keterpecahan internal lembaga. Konflik dapat membangun solidaritas internal dalam kepolisian, ataupun sebaliknya KPK, ketika pihak lain mengklaim lembaganya keliru. Konflik eksternal dapat menjadi basis untuk membangun solidaritas internal, dan lebih lagi membangun reformasi internal. Ia dapat meretas kompetisi-kompetisi internal yang tidak sehat.
Kedua, konflik menyebabkan kelompok-kelompok lain aktif. Khususnya kelompok-kelompok yang selama ini terisolir, dengan konflik, mereka terlibat aktif dalam membangun wacana dan menyampaikan pendapat. Hal ini tampak, misalnya, dalam dukungan terhadap KPK melalui pendudukan terhadap kepolisian di sejumlah wilayah, atau dukungan lewat facebook dan media lannya.
Ketiga, menstimulasi integrasi antarkelompok. Kalau dilihat, kelompok-kelompok ikut dan terlibat dalam upaya pencarian solusi konflik KPK dan kepolisian menjadi dua. Kelompok pertama pendukung KPK dan kelompok kedua pendukung kepolisian. Kelompok pendukung KPK terdiri dari kelompok intelektual yang menyerukan keadilan dan kebebasan. Mereka berasal dari kaum intelektual, LSM, mahasiswa. Kelompok pro kepolisian lebih banyak pejabat, termasuk ada kesan beberapa DPR, yang berangkat dari ketakutan hancurnya lembaga penegakan hukum. Konflik seperti ini menimbulkan solidaritas antarkelompok.
Keempat, mendorong perubahan sosial. Kalau konflik menjadi momen reformasi keterpecahan internal lembaga-lembaga yang bertikai, momen partisipasi kelompok-kelompok yang selama ini terisolir, momen menstimulasi integrasi antarkelompok, maka konflik menjadi momen untuk perubahan sosial.
Di negeri Indonesia yang pluralis ini, tidaklah bijaksana kalau ada upaya untuk mendiamkan konflik. Ada kesan sejumlah pejabat publik lebih menekankan harmoni ketimbang konflik. Alasannya karena takut KPK dan kepolisian akan mengalami disharmoni. Hal ini sah-sah saja, tetapi “melemahkan” kasus hanya supaya kedua lembaga itu harmoni adalah keliru. Kita membiarkan kebusukan dalam lembaga publik terjadi karena takut pudarnya kredibilitas para pemimpin, karena takut kehilangan simpatik rakyat, dan karena ingin menciptakan harmoni.             
Konflik memang lebih rendah dari harmoni atau hidup damai, namun ia lebih buruk daripada harmoni semu atau tertib politik yang dipaksakan. Apalah gunanya membangun harmoni di bawah sikap kompromistis? Konflik KPK – Polri diakui atau tidak diakui akan membangun kedewasaan politik bangsa ini ke depan. Ia adalah bagian dari proses pendewasaan demokrasi itu sendiri.*** (Tulisan saat konflik KPK-Kepolisian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar