Rabu, 21 Desember 2011

MENGAPA LULUSAN PENDIDIKAN DI INDONESIA KURANG KREATIF?

Penulis: Ambros Leonangung Edu


Ada berbagai alasan yang muncul. Pertama, pendidikan kita melayani kepentingan politik. Ini tampak jelas pada masa Orde Baru. Ciri pendidikan pada masa ini adalah indoktrinatif. Praksis pendidikan pun tak jarang cenderung militeristik dan diktatoris. Orang tidak bebas berpikir kritis dan memilih. Orang harus mengikuti keinginan penguasa. Karena menggunakan sistem komando, dampak selanjutnya adalah penyeragaman dalam segala hal, bukan keberagaman. Stabilitas politik dan keamanan menjadi prioritas dengan alasan, jika keamanan stabil, pendidikan pun maju.
Sementara itu, dalam bidang ekonomi, terjadi pembangunan ekonomi. Pendapatan per kapita naik. Struktur ekonomi tidak berakar pada rakyat, tetapi pada pasar kapitalis. Lalu, dalam bidang hukum, indoktrinasi membuat pemimpin dan rakyat berada dalam relasi top-down. Kontrol dari bawah lemah karena kuatnya monopoli penguasa.
Dari semua itu, impak terhadap kehidupan publik adalah terbentuknya kelas menengah yang lamban, tak kreatif, tak responsif atas persoalan aktual bangsa, tidak kreatif dan produktif. Orang tunduk pada birokrasi yang kaku. Korupsi meningkat sehingga lahir ekonomi biaya tinggi dan tidak dikelola secara profesional. Inisiatif  lemah dan selalu minta petunjuk. Dalam bidang pendidikan, sistem pendidikan tidak diarahkan kepada peningkatan daya saing. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas dari masyarakat. Masyarakat tidak dilibatkan dalam mengontrol pengelolaan pendidikan. Akuntabilitas pendidikan ditentukan oleh penguasa, bukan konsumen. Pendidikan semakin terlempar dari kebudayaan dan telah menjadi hasil kerja birokrasi. Kualitas pendidikan kurang mendapat perhatian. Semua ini merupakan persoalan lama yang telah membentuk manusia Indonesia yang tidak kritis, kreatif, dan inovatif. 
Setelah reformasi bergulir, ada berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Beberapa contoh namun memiliki cacat.
Pertama, sertifikasi guru. Sertifikasi merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalisme guru. Sedangkan profesionalisme guru adalah tuntutan mutlak dalam mencapai kualitas pendidikan. Untuk mendapatkan sertifikasi, guru harus memiliki empat kompetensi dasar: kompetensi pedagogik-intelektual, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Upaya pemerintah ini sudah terlaksana dan terbukti banyak guru yang mendaftarkan diri untk mendapat sertifikasi. Sayangnya, jumlah guru yang ini ikut dattar itu tidak memenuhi kuota dan tingkat kompetensi guru nasional masih sangat minim. Ini sekaligus evaluasi bahwa profesionalisme guru kita jauh dari harapan dan pemerintah seta guru terus meningkatkan kinerjanya. Menurut data Ditjen PMPPTK Depdiknas (September 2009), sejak tahun 2006-2009, sebanyak 575.046 guru di seluruh RI ini yang menyerahkan dokumen-dokumen sertifikasi dari 600.450 kuota yang disediakan pemerintah. Yang lulus dan mendapat SK Tunjangan Profesi sebanyak 347.300 guru. Itu berarti, guru yang kompeten seluruh negeri ini hanya 13,32% (dikonversi dengan total guru seluruh Indonesia dari TK-SMU/SMK: (2.607.311 guru). Dengan demikian, untuk mencapai kondisi guru 100% kompeten, bila tidak ada perubahan kebijakan pemerintah yang menuju percepatan, diperlukan waktu sekitar (100:13,32%) x 3 tahun = 22,5 tahun.
Selain itu, pada tingkat lapangan, telah terjadi praktik manipulasi sertifikasi. Kompas, Rabu, 24 November 2010 (hlm. 7) menjelaskan secara gamblang persoalan ini. Dikatakan, di Riau – satu dari berbagai daerah di Indonesia yang mengalami kasus serupa – terjadi kasus plagiasi sertifikasi oleh 1.700 guru.
Munculnya kasus plagiasi patut dievaluasi. Pengadaan serfikasi untuk menunjang profesionalisme guru ternyata tidak mutlak tercapai. Permasalahan utamanya adalah pada metodologi yang diperkuat budaya kita yang koruptif. Instrumen penilaian serfifikasi mengandalkan persepsi penilai. Kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesionalisme yang dipercayakan kepada sekolah dan pengawas sulit dipercaya dan ada potensi direkayasa. Lalu instrumen penilaian kompetensi profesional dan pedagogis yang mengandalkan penilaian persepsional terhadap RPP dan sertifikat tanda mengikuti diklat dan aneka macam kegiatan juga tidak menjamin objektivitas penilaian. Sertifikasi mengandung cacat. Pertama, diabaikan unsur analisis dan refleksi kinerja guru. Kedua, yang dinilai adalah hal-hal yang bersifat instrumental-input, bukan berdasarkan analisis-reflektif atas kinerja guru.
Dengan demikian, sertifikasi guru kita tidak ditempatkan dalam upaya pengembangan profesionalisme guru, tetapi de facto dalam alat pemenuhan tuntutan yuridis formal yang penuh intrik politik.
Kedua, desentralisasi pendidikan. Desentralisasi sudah dilaksanakan. Pemerintah, melalui UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah. Standar kompetensi masih menjadi kewenangan pemerintah pusat dengan alasan, sebagaimana tercantum dalam UU tersebut, untuk menjaga kesatuan bangsa. Yang dilakukan daerah adalah pengembangan isinya sesuai konteks lokal. Daerah lebih kepada “muatan lokal” yang berkaitan dengan kebijakan, kebutuhan, dan kearifan lokal. Maka memang ada banyak pelajaran “muatan lokal” untuk menjawabi tuntutan lokal. Dalam kaitan dengan kinerja dan tenaga kerja daerah, setiap lulusan harus menjawabi permasalahan dan kebutuhan di daerahnya.
Ketiga, KTSP. KTSP dikembangkan di sekolah-sekolah sekarang ini. Kurikulum ini menitikberatkan pada siswa. Siswa menjadi pelaku (student-centered), bukan lagi guru (teacher-centered) sebagaimana dalam praktik pendidikan dulu. Kesempatan lebih banyak diberikan kepada siswa. Guru hanya menjadi fasilitator, pembimbing, pengarah, atau pelancar dalam proses pembelajaran. Bagi sekolah-sekolah yang kompeten dan konsisten, KTSP berhasil menumbuhkan potensi siswa dan mengaktualisasikan bakat-bakatnya. Namun, ada banyak guru yang tidak kompeten (bdk. Data guru tidak kompeten jawaban pertama di atas). Dalam kenyataan, kebanyakan guru tidak siap dengan baik sehingga tidak dapat menjadi fasilitator yang efektif. Fasilitator yang efektif membutuhkan latihan dan wawasan yang luas, dan kebanyakan guru kita kurang memilikinya. Akibatnya, karena kebanyakan kesempatan diberi kepada siswa tanpa arahan yang jelas, terarah, dan terukur, maka proses pembelajaran di sekolah terkesan “main-main”. Pembelajaran menjadi dangkal dan suasana di kelas riuh-ramai. Untuk sementara, KTSP ini masih dipakai di sekolah-sekolah, meskipun sudah ada wacana pergantian kurikulum oleh Menteri Pendidikan.
Lantas, selain usaha pemerintah, apa usaha guru-guru untuk meningkatkan mutu pendidikan, dalam rangka mewujudkan tiga program prioritas pemerintah tahun 2000-2004? Pertama, pendidikan lanjutan. Untuk guru-guru tamat diploma, mereka mengikuti pendidikan sarjana, dan ada guru yang sudah sarjana mengikuti pendidikan magister dan bahkan doktoral. Ini untuk meningkatkan wawasan guru. Kedua, selain yang pertama di atas, usaha guru di lapangan adalah melakukan MGMP (Membuat Musyawarah Guru Mata Pelajaran) sebagai diskusi perbandingan antarguru yang memperkaya wawasan dengan menggunakan teknologi informasi sebagai pusat ilmu baru dan dunia baru, membuat kajian-kajian ilmiah seperti seminar-seminar yang bermutu tentang pendidikan, dan mengetahui kebutuhan dasar arah pembentukan siswa melalui telaah sosiologis dan kultural, serta mengambil tema-tema khusus untuk meningkatkan citra sekolah  misalnya dalam scientis, artis, drama, musik, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar