Rabu, 21 Desember 2011

ALAM DAN MASA DEPAN MANUSIA



Setiap hari kita disajikan dengan berita-berita yang menyayat hati. Soalnya, bumi tempat kita tinggal ini tidak nyaman lagi untuk dihuni. Saat musim kemarau datang, cuaca panas begitu tak tertahankan. Saat musim hujan tiba, banjir menggedor-gedor pintu rumah kita sehingga terjadilah pengungsian secara paksa dan massal. Sinar matahari dan hujan sebagai sumber energi dan kehidupan tidak lagi datang untuk menumbuhkan dan menyembuhkan kehidupan, tetapi justru menyapu semua kehidupan yang Tuhan ciptakan di atas bumi ini.
Tuhan menciptakan alam lingkungan satu dan baik adanya. Manusia dan ciptaan lain merupakan satu-kesatuan yang integral. Akan tetapi, manusia menghancurkan kesatuan tersebut dan menciptakan sekat-sekat diskriminatif antara manusia dengan alam. Kita ingat etos antroposentrisme dari modernisme yang menempatkan sikap superioritas manusia atas ciptaan-ciptaan lainnya lantaran manusia memiliki rasio. Dengan rasionya, manusia mengklaim diri sebagai pusat dan penguasa jagat. Alam ditelanjangkan dari kesuciannya dan dirusak untuk menyangga bangunan arogansi manusia.
Etos antroposentrisme ini sekarang mengental di dalam arus kapitalisme global yang kian tak terbendung. Kapitalisme yang terobsesi pada keuntungan ekonomis dan akumulasi modal mengakibatkan alam dieksploitasi secara masif. Sebut saja hutan-hutan produktif di Kalimantan yang digerus untuk sektor bisnis pertambangan, atau hutan-hutan dan lahan-lahan subur di NTT yang “disulap” para kepala daerah untuk proyek pertambangan para investor yang menyembah dewa kapitalisme. Ketika ekonomi dilihat sebagai suprastruktur bagi bangunan politik, budaya, sejarah, dan peradaban zaman ini, nilai intrinsik alam direduksi ke nilai ekonomis.  Ini sebuah pengerdilan dan pengrusakan luar biasa atas ciptaan alam. 

Keprihatinan Gereja

Sesungguhnya, kerusakan lingkungan menjadi perhatian Gereja. Gereja tegas dalam sikap dan komitmennya. Terdapat sejumlah dokumen pastoral penting yang  telah dikeluarkan Gereja untuk mendukung dan memperjuangkan kehidupan. Juga ada berbagai pernyataan dan sikap petinggi Gereja yang mengungkapkan kepedulian dan keprihatinannya atas persoalan kerusakan alam lingkungan.
Pada tahun 2001, mendiang Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa manusia masa kini tidak lagi bertugas sebagai “penjaga” ciptaan. Jika kita perhatikan sejumlah wilayah di planet ini, lanjutnya, kita akan segera melihat bahwa manusia telah mengecewakan harapan Allah untuk menjaga ciptaan. Tanpa ragu-ragu manusia merusak hutan, mencemari air dan udara, menodai habitat kehidupan ciptaan lain, mengganggu sistem dan siklus atmosfer dan hidrogeologis, serta mengubah daerah yang kaya raya menjadi padang gurun yang tandus.
Kemudian, Paus Benediktus XVI dalam sesi tanya-jawab dengan Pastor Golser pada tahun 2007, mengatakan, bumi kita sedang merintih kesakitan. Kita dapat merasakan dan mendengarnya. Bumi ini telah letih oleh ketamakan, eksploitasi, dan manipulasi. Pernyataan Paus ini tentu punya alasan. Dalam buku berjudul Ten Commandments for the Environment: Pope Benedict XVI Speaks Out of Creation and Justice, diulas mengenai kondisi yang menunjukkan tingkat kerusakan alam bumi dewasa ini. Dikatakan, suhu bumi kita makin meningkat. Lapisan ozon menipis. Bencana alam makin sulit diatasi. Hutan tropis yang pernah mengerudungi 14 persen tubuh bumi, kini hanya tertinggal 6 persennya saja. Hampir separuh tumbuh-tumbuhan, binatang, dan mikroorganisme akan punah atau benar-benar terancam sekitar seperempat abad ke depan karena kerusakan hutan. Para ahli memperkirakan 137 spesies tanaman, binatang, dan serangga akan punah setiap hari, dan diperkirakan setiap tahunnya  akan mencapai angka 50 ribu spesies akibat kerusakan hutan tropis. Memasuki tahun 2032, diperkirakan lebih dari 90 persen bangsa kera akan menderita kehilangan habitat asalinya karena aktivitas pembangunan manusia, termasuk 99 persen spesies orang utan (Indiana: 2009, hlm 30-31).
Dengan tingkat kerusakan alam yang kian parah tersebut, apa yang dapat dan harus kita lakukan? Apakah kita harus mengikuti desakan Stephen Hawking, sang ahli fisika tersohor dunia itu, agar kita segera mengungsi ke planet lain sebagai satu-satunya jalan untuk menyelamatkan spesies manusia di galaksi ini karena bumi akan punah dalam ratusan tahun ke depan akibat egoisme dan keserakahan manusia yang merusak alam? Upaya ini bukan mustahil. Akan tetapi, hal ini merupakan sebuah pengkhianatan dan dosa tanpa ampun atas kepercayaan Allah terhadap kita sebagai “penjaga” ciptaan. Hal paling urgen adalah perubahan paradigma. Kita harus berani memutus rantai pandangan yang cenderung antroposentris dan menunjukkan sikap kita sebagai penjaga dan pemelihara ciptaan, beserta alam dan lingkungannya. 

Alam dan Keselamatan Manusia

Alam harus diselamatkan segera jika manusia ingin selamat. Keselamatan manusia mengandaikan keselamatan alam lingkungan. Manusia harus mengubah wajah alam yang kini rusak menjadi baru. Manusia harus mengubah wajah bumi yang lama menjadi “bumi yang baru” agar manusia menjadi “ciptaan baru”. Kedatangan Yesus ke dunia menegaskan hal ini. Yesus datang untuk menciptakan “bumi yang baru”. Bumi baru bukan dalam artian menghancurkan bumi yang lama, lalu menciptakan bumi yang baru, tetapi, seperti yang dikatakan Santo Paulus, melalui proses keselamatan kita terlibat bersama Allah dalam “menciptakan wajah bumi menjadi baru”, di mana kita dapat bersenang-senang di bawah mentari, di mana tidak ada lagi orang miskin, tidak ada lagi monopoli dan kekuasaan karena semua mendapat bagian yang adil.
Paus Benediktus XVI, seperti dikutip sebelumnya mengatakan, tidak hanya ada ekologi alam, ada juga ekologi “manusia”, yang pada gilirannya menuntut ekologi “sosial”. Manusia harus memiliki kesadaran akan hubungan antara ekologi alam atau sikap hormat terhadap alam, dan ekologi manusia atau sikap hormat terhadap sesama manusia. Pengalaman menunjukkan bahwa sikap tidak peduli terhadap alam selalu merusak keselamatan dan kedamaian antara sesama manusia (2009: 81-82).  Dengan demikian, eskatologi keselamatan bisa mewujud dalam kedamaian antara manusia dengan ciptaan dan kedamaian manusia dengan sesamanya. Keduanya mengandaikan kedamaian dengan Allah. Karena kehidupan merupakan “hakekat” keberadaan Allah, maka menjaga hubungan manusia dengan alam lingkungan merupakan awal keberadaan kita bersama Allah di surga. ***

Oleh: Ambros Leonangung Edu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar