Rabu, 21 Desember 2011

MEMBANGUN GENERASI PASCATRAUMA (Mengenang Hari Sumpah Pemuda)

Penulis: Ambros Leonangung Edu


Ernest Renan mengatakan, nasion terbentuk bukan karena kesamaan suku, agama, ras, atau konfigurasi geografis, melainkan karena resultante dari komplikasi pengalaman bersama di masa silam.
Masa silam bangsa kita penuh goresan hitam akibat dibelenggu kolonialisme dan imperialisme. Kolonialisme dan imperialisme telah mengakibatkan luka-luka trauma sejarah yang teramat dalam. Pengalaman terluka itulah yang menjadi titik tolak bagi para pejuang kita untuk merancang-bangun sebuah proyek bersama: satu Indonesia.

Totaliterisme yang berkepanjangan

Proyek bersama itu dirancang salah satunya pada momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dikumandangkan oleh kaum muda yang peduli dan cinta terhadap tanah air Indonesia. Mereka berasal dari Jong Java, Jong Andalas, Jong Borneo, dan sebagainya. Tujuan mereka adalah menyatakan kesatuan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Roh kesatuan ini tentu menjiwai kemerdekaan tahun 1945.
Seharusnya trauma sejarah akibat kolonialisme dan imperialisme sudah terobati melalui autoterapi. Proyek para pendahulu harus direvitalisasi, kaum muda diberdayakan, politik dibenahi. Intinya, bangsa kita harus melakukan reformasi internal sehingga luka-luka itu sembuh. Harus ada pemulihan dari dalam diri. Tentu dengan berguru pada sejarah masa lalu dan memaafkan tanpa melupakan setiap bentuk kekerasan.
Akan tetapi, tampaknya kita bukanlah bangsa yang mau berguru pada sejarah. Kita tidak mau mengambil hikmah dari setiap kejadian historis. Kita tidak mau berdamai dengan kesalahan dan kepahitan masa lalu dan menyiapkan diri untuk membuka lembaran sejarah baru. Kita cenderung mengabaikan memori masa lalu seperti sampah busuk yang harus dibuang dan dilupakan. Hal ini membuat kita lupa pada perjuangan, kenangan, impian, tekad, dan pengorbanan para pejuang kita. Kita melupakan amanat mereka.
Karena tidak mencintai sejarah, kita tampak tidak siap dan tidak mampu menatap masa depan dengan wajah baru. Kita cenderung berputar-putar pada pola-pola lama yang totaliteristik. Alhasil, kontinuitas perjuangan dan semangat para pemuda 28 untuk memperjuangkan “satu Indonesia” putus di tengah jalan. Roda perpolitikan nasional terseok-seok. Totalitarianisme yang telah kita tolak itu justru kita kembali dan terpancar dalam urat nadi para pemimpin kita. Soekarno pemimpin diktator, lalu digulingkan Soeharto. Soeharto naik takhta selama tiga puluh dua tahun kemudian, tapi diturunkan para mahasiswa pada tahun 1998, lagi-lagi karena totaliteristik.
Periode Reformasi menutup rezim totaliteristik kiranya membawa angin segar dan telah berjalan dua belas tahun hingga sekarang. Apakah tekad “satu Indonesia” pada Sumpah Pemuda dihidupkan kembali? Apakah nasionalisme kita bertumbuh pascakolonialisme?
Setiap kejadian historis pasti akan tersimpan dalam memori kolektif. Dari sudut pandang psiko-sosial, memori kolektif selalu mengandung muatan emosi. Emosi itu terisi trauma-trauma masa lalu dan menyembul dalam wajah penuh dendam dan benci dari generasi yang satu ke generasi yang berikutnya, dari rakyat terhadap pemimpin, dan dari rakyat biasa kepada para elite.
Saat-saat terakhir kita sering menyaksikan munculnya gerakan separatisme dan sektarianisme RMS yang ingin menangkap Presiden SBY. Juga ada gerakan fundamentalisme yang menampak dalam aksi teror bertopeng agama, pelarangan beribadat bagi agama tertentu, konflik berdarah di Jalan Ampera Jakarta, dan masih banyak lagi yang masih hangat dalam telinga kita. Ini semua bagian dari trauma kolektif yang belum tersembuhkan. Dan penyakit itu belum menunjukkan tanda-tanda perubahan yang signifikan. Masih banyak koruptor yang bebas dari jeratan hukum, politik menjadi ruang komodifikasi dan performativitas diri, kaum muda terjebak dalam kepentingan-kepentingan parsial, ruang-ruang demokrasi kita yang tidak terdefinisi secara baik oleh para elit dibajak dan diisinya dengan mafia-mafia korupsi.
Kekerasan demi kekerasan melahirkan anak-anak bangsa yang dendam dan benci. Benci bukanlah karakter bawaan tapi hasil bentukan lingkungan historis-sosiologis. Maka membaca kekerasan yang sering melanda kehidupan bangsa dapat dibaca dari akumulasi rasa pahit yang terus terjadi. Luasnya kekerasan mengakibatkan lemahnya ketahanan rakyat untuk hidup di lembah derita.

Harus segera diobati
Hal yang diperlukan sekarang adalah membangun bangsa Indonesia pascatrauma sejarah. Bangsa Indonesia yang bebas represi, kebencian, dan balas dendam. Gerakan separatisme, sektarianisme, dan fundamentalisme akan mengikis integritas dan nasionalisme jika tidak dilakukan perubahan wajah kebangsaan kita. Gerakan-gerakan ini tidak efektif dilawan dengan memperbanyak dan memperkuat pasukan keamanan, sebab yang dilawan adalah ideologi, bukan fisik. Hal yang diperlukan adalah merias wajah Indonesia yang bangga terhadap bangsanya. Reformasi institusi publik harus berjalan, konflik KPK dengan kepolisian harus dituntaskan, para koruptor harus dihukum dengan adil, kebebasan dan keadilan harus ditegakkan.
Kiranya Sumpah Pemuda menjadi titik berangkat untuk terus menjalan suatu proyek bersama: satu Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar