Rabu, 21 Desember 2011

Mempertanyakan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

Penulis: Ambros Leonangung Edu

Salah satu terobosan —dari sembilan (9) terobosan—Departemen Pendidikan Nasional adalah pendanaan pendidikan massal, seperti program Bantuan Operasional Sekolah. Program dana BOS, yang dimulai sejak tahun 2005 lalu, bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan biaya para siswa agar mereka memperoleh layanan pendidikan yang lebih bermutu. Dana BOS juga setidak-tidaknya bisa menolong, in actu, ketidakmampuan APBN mengalokasikan dana 20% untuk pendidikan. Bayangkagn saja tahun 2004, kita hanya mengalokasikan APBN untuk pendidikan sebesar 5,5 %, selanjutnya tahun 2006 sebesar 9,7 %, dan terakhir tahun 2008 sebesar 12 %. Berarti, kita sudah mengangkangi konstitusi sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Dengan pengadaan dana operasional sekolah, pemerintah menunjukkan langkah maju. Bahwa, di tengah kompleksitas persoalan kemiskinan yang meliliti bangsa, pemerintah masih bisa mengambil langkah strategis. Karenanya, sekolah-sekolah tidak perlu pesimis dengan operasionalisasi. 
Namun, dinamika pendidikan tidak hanya berhenti pada soal operasionalisasi. Pendidikan berkaitan dengan harga diri dan ‘rasa malu’ bangsa. Mendapat bantuan berarti; pertama, para pendidik dan seluruh institusi pendidikan perlu menyingsingkan lengan baju lebih banyak lagi dalam hal manajemen, solidaritas perjuangan, komitmen, mimpi dan kepemimpinan. Kehilangan unsur-unsur ini berarti, yang tertinggal adalah birokratisme sempit, sebuah kerangka institusional yang berjalan seputar urusan administrasi untuk melanggengkan eksistensinya tanpa dinamika dan isi.
Kedua, yang perlu kita cari darimana dana BOS itu muncul. Dana BOS adalah dana bantuan dari World Bank. Pertanyaannya, solidaritas macam mana yang begitu rela menanggung biaya sebuah negara kecuali bahwa mereka mempunyai kepentingan? Apakah itu hibah atau pinjaman? De facto, tidak ada distingsi yang jelas antara hibah dan pinjaman. Jika disebut hibah, maka kita mesti kembali ke soal kerelaan tanpa maksud. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin.
Ketiga, di mana-mana kita tahu bahwa World Bank berekspansi membawa ideologi globalisasi. World Bank adalah salah satu lembaga global, selain IMF dan WTO, yang terbentuk sebagai respons atas manajemen pemerintah yang tidak mampu mengelola perekonomian negara. Karena itu, ketiganya hadir untuk mengelola perekonomian global dengan tiga agenda utama; liberalisasi pasar, privatisasi, dan deregulasi peran pemerintah. Untuk negara-negara berkembang dan terbelakang, Indonesia misalnya, mereka bercita-cita merestorasi perekonomian dari memberi bantuan asing dan investasi asing. Globalisasi lalu sama dengan globalisasi ekonomi. Berarti, dinamika perekonomian global dikendalikan ketiga lembaga ini. Sudah menjadi isu umum bahwa globalisasi diperankan oleh dalah ‘tokoh-tokoh anonim’ di belakangnya yang mempunyai kepentingan akumulasi modal. Dalam hal ini kita kembali ke ungkapan David Harvey, globalisasi berarti ‘finansialisasi segala sesuatu’.
Akankah institusi pendidikan kita, lewat dana bantuan operasional sekolah (BOS) menjadi pintu masuk bagi investasi asing? Apakah bantuan ini membentuk sikap toleransi bagi para petinggi negara kita terhadap masuknya proyek-proyek asing dalam kerangka privatisasi yang monopoli dan membahayakan, dan dalam kerangka liberalisasi serta deregulasi. Jika pendidikan kita sudah menjadi jalur masuknya investor asing, maka bukan tidak mungkin kita kehilangan momentum untuk menjadi investor di negeri sendiri. Kita tidak ingin menjadi orang berpendidikan karena jasa orang lain.
Pendidikan adalah investasi kita yang mesti dijaga kewibawaan dan kehormatannya. Pendidikan, ungkap Paulo Freire, dalam bukunya Educational For Critical Consciousness [London, 1974, hlm. 32] bahwa pendidikan mesti diarahkan demi mewujudkan masyarakat transformatif, yakni menciptakan individu-individu kritis.
Pendidikan membentuk gerakan dari dalam diri maupun kolektif untuk sadar akan irasionalitas, khususnya yang disebabkan oleh sistem yang membelenggu. ia bukanlah proses pemformatan indvidualitas dari politisasi dan kepentingan pemodal dan pemangku kekuasaan.

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus